Rabu, 15 Juli 2009

ARTIKEL

SASTRA TEMBANG MACAPAT (Ideologi dan Kegelisahan Pengarang)
Sumaryono, S.Pd


Pengantar
Tembang macapat merupakan hasil karya sastra Jawa baru yang berkembang setelah periode Jawa Kuna dan Jawa Tengahan. Saat itulah, banyak terjadi pemugaran (renaissance) teks sastra Jawa Kuna yang ditulis kembali ke dalam bahasa Jawa baru dan dengan metrum baru pula atau lebih dikenal dengan serat jarwa (Saputra, 2001: 22). Sebagai contoh, pada zaman Surakarta (awal abad ke-18) muncul beberapa hasil karya pugaran diantaranya Serat Rama, Serat Arjunawiwaha, Serat Dewa Ruci, dan Serat Lokapala. Adapun pujangga yang terkenal pada masa itu adalah R.Ng. Yasadipura I dan II, R.Ng. Ranggawarsita, Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IV, KGPAA Mangkunegara, dll. Selain karya sastra pugaran, lahir juga berbagai serat yang ditulis dalam bentuk metrum tembang macapat (puisi), geguritan (puisi Jawa bebas), bahkan gancaran (prosa). Namun demikian, tradisi tulis tembang macapat-lah yang menduduki urutan teratas dengan berbagai serat Jawa yang muncul misalnya Serat Kalatidha, Serat Tripama, Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dsb.
Sebagai hasil karya pengarangnya, kelahiran tembang macapat yang notabene merupakan wujud karya sastra Jawa baru dipengaruhi oleh adanya jiwa jaman (zeit geist) yang melingkupinya. Dasar konsep ini adalah individu sebagai bagian dari mayarakat tidak dapat terhindar dari berbagai gesekan penetrasi sosial baik dalam pemikiran maupun karyanya. Hal demikianlah yang mempengaruhi karya dan pemikiran manusia tersebut tidak terlepas dari nuansa tradisi dan budaya daerah tertentu, dimana individu tersebut pernah mengalami suatu komunikasi bermakna dalam kehidupannya. Kemampuan imajinasi dan kreativitas individu tersebut kemudian dituangkan melalui segenap daya cipta yang dimiliki dengan gaya kekhasan-nya, sehingga pikiran-pikiran yang dianggap memiliki arti penting pada zaman kehidupan sosio-budayanya mampu dinikmati orang lain.
Kemampuan untuk menangkap dan memaknai fenomena sosial-budaya yang diwujudkan dalam gagasan, pikiran, dan karyanya tersebut menunjukkan bahwa individu adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari campur tangan orang lain, budaya dan tradisi sekitar, dimana hal itu hidup dan dihayati dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, individu tersebut telah menjadi subjek dalam suatu kelompok masyarakat atas gagasan, ide, pikiran-pikiran yang ada dalam karyanya, sehingga dapat dianggap mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal demikian dapat dimaknai bahwa karya individu dapat dipahami lebih kompleks, tidak hanya terbatas pada struktur karya itu saja, namun lebih pada unsur sosiologi kemunculan karya tersebut.

Ada apakah di balik penciptaan sastra tembang macapat?
Sesuai dengan konsep-konsep di atas, individu pengarang tembang macapat sebagai bagian dari masyarakatnya mengandung pengertian bahwa apa yang dipikirkan, isu-isu yang diangkat dan disampaikan melalui karyanya merupakan refleksi maupun representasi kehidupan sosial masyarakat. Isu-isu tersebut kemudian diwujudkan dalam teks sastra bermetrum dan ditembangkan dengan konvensi tertentu. Hal tersebut berhubungan erat dengan pendapat Julia Kristeva bahwa dunia ini adalah teks, pengarang tinggal menyusunnya dalam simbol-simbol tertentu. Begitu juga A.Teeuw yang berpendapat bahwa sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan belaka. Dalam pengertian ini, seorang pengarang tentunya tidak hanya sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah dan apa adanya. Menurut Damono (1978: 13), pada dasarnya sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia. Karya itu merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial. Sebagai sastra yang selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, maka dapat diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakatnya sebab masyarakat semakin menjadi rumit.
Sastra sebagai cermin (mirror) masyarakat sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depan berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisinya. Pengertian ini tidak semata menganggap bahwa sastra merupakan copy (jiplakan) kenyataan secara mentah, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Hal inilah yang mewarnai teks sastra yang dalam konteks ini sastra dianggap sebagai ilusi dari kenyataan (refleksi) yang halus dan indah (Endraswara, 2003: 78). Berbicara masalah perjuangan hidup yang mampu mewarnai teks sastra, Goldman (via Endraswara, 2003: 79) menyatakan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan yang mempengaruh individu tersebut berwatak rasional dan signifikan dalam korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian struktur tersebut. Sebagai contoh serat Kalatidha yang ditulis oleh Ranggawarsita misalnya, apa yang ditulis dalam karyanya merupakan representasi dari keadaan lingkungan yang membelenggunya. Analisis ini tentunya dengan melihat tanda dalam karya yang kemudian dicek kapan, dimana, dan bagaimana karya itu lahir. Serat Kalatidha dapat dimaknai sebagai jeritan batin seorang pujangga menghadapi kenyataan yang bertolak belakang dengan sisi kemanusiaannya. Ranggawarsita yang hidup pada masa Paku Buwana IV hingga Paku Buwana IX (1802-1973) mengalami pergolakan batin yang tidak menentu. Dinamika politik dan campur tangan Belanda dalam pergantian tahta mencabik-cabik perasaannya. Dalam hal ini, ia mengalami dua penindasan baik dari kalangan istana dan kolonialisme Belanda. Berikut 2 (dua) dari 12 (dua belas) bait serat Kalatidha yang bermetrum macapat Sinom yang mencitrakan pengarang dan masyarakatnya:


Bait 3: Katetangi tangisira,
sira sang parameng kawi,
kawilet ing tyas dhuhkita,
kataman ing reh wirangi,
dening upaya sandi,
sumaruna anarawung,
mangimur manuhara,
met pamrih melik pakolih,
temah suha ing karsa tanpa wiweka.

Bait 7: Amenangi jaman edan,
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
dilalah karsa Allah,
begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lawan waspada.
Terhentaklah tangis sang pujangga
(oleh sebab) terbelit perasaan sedih,
malu oleh tindak fitnah yang menyela
nimbrung menghibur memikat hati
untuk mencari pamrih perolehan,
sehingga hancur berantakan
keinginannya tanpa kehati-hatian.



Menemui jaman edan, sulit menyikapi,
ikut edan tidak tahan, jika tidak ikut tidak
kebagian perolehan, akhirnya kelaparan,
atas kehendak Allah betapapun beruntung-
nya orang yang lupa lebih beruntung orang
yang ingat dan waspada.




Larik-larik tembang tersebut menunjuk pada diri pengarang yang mengungkapkan keprihatinannya atas fenomena sosial pada saat karya itu lahir. Jaman edan itu bukan hanya terjadi pada pada saat sekarang ini ataupun masa yang akan datang seperti halnya beberapa ramalan yang sering kita dengar. Pada saat Ranggawarsita hidup, ia telah mengalami apa yang dinamakannya jaman edan. Perjuangan hidup individu seorang pengarang kemudian disusunnya dalam wujud karya sastra, dimana sastra merupakan sarana komunikasi yang tidak dapat disalurkan oleh sarana lain (non-transmittable by other means). Dalam konteks ini, sastra dapat digunakan sebagai alat damai untuk menguasai pikiran orang lain dalam membentuk hegemoni suatu masyarakat tertentu.
Pengarang merupakan bagian dari lingkungan masyarakat yang tidak terlepas dari aturan dan adat kebiasaan. Dalam prakteknya, pada sebuah lingkungan tertentu terdapat gejolak dan kepentingan yang tidak disampaikan secara lugas. Hal ini untuk menghindarkan diri dari tekanan, pertentangan, dan permusuhan secara spontan (langsung ditanggapi). Inilah yang dibicarakan oleh Max Adereth (via Damono, 1978: 50-51) mengenai gagasannya tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi tertentu (atau yang disebutnya dengan sastra yang terlibat/litterature engagee). Implikasinya adalah, bahwa sastra mengandung kekuatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan (propaganda politik) dengan menggunakan tanda-tanda tertentu. Tanda-tanda tersebut jika disusun secara baik dalam karya sastra maka diperlukan kekuatan pengetahuan tertentu untuk mengetahui makna yang disampaikan pengarang dalam karya tersebut. Tanda-tanda (signs) itu ada dalam struktur dan tanda yang terangkai sesuai dengan konvensi penciptaan karya sastra tertentu pastilah mempunyai fungsi. Dengan demikian, jika karya sastra mempunyai tiga kriteria tersebut maka akan dapat dikritik secara benar (sesuai dengan konvensi sastra) yang berbeda dengan cara populer yang banyak mengetengahkan sisi-sisi kemanusiaan pengkritik (melibatkan emosi, kepentingan tertentu, baik-buruk, dll). Berikut tembang macapat (sekar Dhandhanggula dalam serat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV) yang sesuai dengan pembicaraan di atas:


Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa samya anuladha,
kadya nguni caritane,
andelira sang Prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
aran Patih Suwanda,
lelabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,
guna kaya purune kang den antepi,
nuhoni trah utama.

Lire lelabuhan tri prakawis,
guna bisa saniskareng karya,
binudi dadi unggule,
kaya sayektinipun,
duk bantu prang Magada nagri,
amboyong putri dhomas,
katur ratunipun,
purune sampun tetela,
aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji,
Suwanda mati ngrana
seyogyanya wahai prajurit tirulah sebisa bisanya cerita jaman dahulu, yakni tangan kanan sang Prabu Sasrabahu di Maespati
yang bernama Patih Suwanda. Bekal pengabdiannya meliputi tiga hal: guna, kaya, dan purun yang selalu dipegang sebagai seorang manusia utama.



Adapun ketiga bekal pengabdian itu: guna berarti serba bisa berusaha untuk selalu berhasil, kaya berarti berkorban melawan negeri Magada dan memboyong putri domas untuk dihaturkan pada rajanya. Purun, berani maju perang melawan raksasa Alengka hingga Suwanda gugur di medan laga.






Cakepan tembang Dhandhanggula di atas dapat dimaknai sebagai doktrin dari penguasa (atasan) pada rakyat bawahannya. Sebagai punggawa istana, Mangkunegara IV memerlukan sarana yang tepat untuk melanggengkan hegemoni istananya dan sastra sebagai bagian dari kebudayaan adalah aparatnya. Melalui diksi-diksi yang sedemikian rupa dan ditembangkan dengan estetika tertentu mampu membangkitkan semangat pengabdian bawahan terhadap atasannya. Tanpa sadar sebenarnya ada hipnotis politik yang terdapat dalam teks sastra tersebut. Lantas bagaimanakah hubungan pengarang dengan ideologi yang dianutnya? Berikut cuplikan macapat Pocung (biasa dipakai pada gerongan gendhing Pocung) yang mengandung ideologi:

Pancasila dhasar nagri panggah kukuh,
panggayuhing bangsa,
murih mulya lahir batin,
gemah ripah panjang punjung tur raharja.

Ideologi merupakan paham yang menunjukkan pandangan manusia terhadap dunianya. Merujuk dari tembang Pocung di atas, tersirat bahwa pengarang merupakan penganut ideologi Pancasila. Jika tembang tersebut diresepsi dan mampu meyakinkan pembacanya, berarti pengarang telah berhasil menggiring pembaca tersebut masuk ke dalam ideologi yang dibawanya. Sastra yang demikian itu mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu. Inilah hebatnya sastra, selain berfungsi sebagai dulce et utile (berguna dan menghibur) pada dasarnya sastra mengandung makna niatan (amanat) dan makna muatan (tema).

Referensi:
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Dep.dik.bud.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Rochkyatmo, Amir. 2002. Kalatidha: Guratan Luka Seorang Pujangga. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Patria, Nezar & Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saputra, Karsono.H. 2001. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra


Yogyakarta, November 2008

Tidak ada komentar: