MACAPAT (Kaidah dan Keluwesannya)
Eko Prasetyo, S. Sn.
Pendahuluan
Macapat merupakan bagian dari seni Karawitan. Karawitan secara luas dapat diartikan segala sesuatu yang ngrawit, halus, indah. Secara sempit Karawitan dapat diartikan komposisi musikal Jawa yang memiliki dua unsur, yaitu lagu/melodi dan wirama/ritme. Lagu terdiri dari instrument dan vokal, sedangkan wirama (ritme) terdiri dari wirama metris (beraturan) dan ritmis (tidak beraturan). Macapat termasuk seni suara (vokal) yang berirama ritmis/tidak beraturan.
Tradisi waosan Macapat sangat mudah dijumpai pada zaman kejayaannya, misalnya dalam upacara midodareni, sepasaran bayi, dsb. Saat itu hampir semua orang Jawa baik yang berada di Jawa maupun luar Jawa mampu menyajikan macapat. Namun orang-orang yang dahulu mampu menyajikan macapat tersebut, sekarang sekitar 60% sudah meninggal . Generasinya hampir tidak ada yang mampu menyajikan macapat, kecuali yang sekolah di bidang budaya Jawa (terutama kesenian Jawa atau bahasa Jawa). Padahal tiyang penyangga kelestarian macapat bukan saja orang yang pernah belajar kesenian Jawa dan/atau bahasa Jawa, tetapi seluruh elemen bangsa. Entah mulai kapan, lambat-laun macapat semakin jarang kita jumpai seiring dengan perkembangan teknologi di negara kita. Hasilnya, sekarang macapat merupakan momok yang mengerikan bagi generasi bangsa kita, kalau tidak boleh dikatakan menjijikkan.
Bisa dipahami, mereka menganggap demikian karena belum merasakan keindahan macapat. Ini terjadi karena memang macapat itu seperti kelapa, harus dikupas kulitnyanya, tempurungnya, setelah kita dapatkan daging kelapanya masih harus kita olah agar menjadi santan, kemudian santan tersebut kita gunakan untuk memasak sayur gudheg, baru dapat kita rasakan kenikmatannya.
Masalahnya, saat ini generasi bangsa kita lebih menyukai sesuatu yang serba instant, sesuatu yang langsung dapat dipahami dan dirasakan. Mereka tidak punya waktu untuk memelajari kaidah-kaidah macapat yang ruwet, sastra yang sulit dimengerti artinya, dan lagu dengan tangga nada pentatonis (gamelan) yang kuno. Padahal kita yang telah merasakan keindahan macapat, selalu merasa butuh untuk bermacapat. Suatu kerugian yang sangat besar, ketika kita yang hidup hanya sebentar ini tidak pernah merasakan keindahan macapat.
Kaidah Macapat
Macapat adalah seni baca (waosan) kita-kitab lama Jawa yang ditembangkan dan memiliki kaidah-kaidah tertentu . Tidak seperti tembang-tembang yang lain, macapat memiliki ciri-ciri tertentu:
1). Bentuk Macapat
Macapat terikat oleh guru-gatra atau guru padalingsa, guru-wilangan, dan guru-lagu. Guru berarti, uger-uger, paugeran, wewaton, pathokan, kaidah.
a) Guru-gatra atau guru padalingsa berarti kaidah gatra atau padalingsa yaitu jumlah baris dalam setiap pada (bait tembang).
b) Guru-wilangan berarti kaidah tentang jumlah wanda atau suku kata dalam setiap gatra (baris).
c) Guru-lagu berarti kaidah tentang suara vokal pada setiap akhir gatra. Menurut Atmodarsono guru-lagu adalah jatuhnya suara (a-i-u-o-e).
d) Dalam macapat tidak mengenal istilah padapala, lampah, pedhotan, dan padeswara , seperti dalam tembang gedhe.
e) Setiap gatra memiliki jumlah suku-kata (guru-wilangan) yang tidak menentu dan sedikitnya lima suku kata sebanyaknya duabelas suku kata.
Tabel
No
Sekar Macapat Guru gatra Guru wilangan Guru lagu
1 Kinanthi 6 8,8,8,8,8,8 u,i,a,i,a,i
2 Pucung 4 12,6,8,12 u,a,i,a
3 Asmarandana 7 8,8,8,8,7,8,8 a,i,e,a,a,u,a
4 Mijil 6 10,6,10,10,6,6 i,o,e,i,i,u
5 Maskumambang 4 12,6,8,8 i,a,i,a,a
6 Pangkur 7 8,11,8,7,12,8,8 a,i,u,a,u,a,i
7 Sinom 9 8,8,8,8,7,8,7,8,12 a,i,a,i,i,u,a,i,a
8 Dhandhanggula 10 10,10,8,7,9,7,6,8,12,7 i,a,e,u,i,a,u,a,i,a
9 Durma 7 12,7,6,7,8,5,7 a,i,a,a,i,a,i
No
Sekar Tengahan Guru gatra Guru wilangan Guru lagu
10 Megatruh 4 12,8,8,8 u,i,u,i,o
11 Gambuh 5 7,10,12,8,8 u,u,i,u,o
12 Wirangrong 6 8,8,10,6,7,8 i,o,u,i,a,a
13 Balabak 6 12,3,12,3,12,3 a,é,a,é,a,é
14 Jurudemung 7 8,8,8,8,8,8,8 a,u,u,a,u,a,u
15 Girisa 8 8,8,8,8,8,8,8,8 a,a,a,a,a,a,a,a
2). Teknik Macapat
a) Menguasai pedhotan, pedhotan adalah jeda sesaat untuk bernapas. Rumus pedhotan antara lain:
gatra yang berisi 5 wanda, pedhotan 3 – 2, atau 2 – 3 wanda.
Contoh: tembang Durma pada gatra ke enam
kadanga – Dewa (3 – 2)
kocak – samodra (2 – 3)
gatra yang berisi 6 wanda, pedhotan 4 – 2, 3 – 3, atau 2 – 4 wanda.
Contoh: tembang Mijil pada gatra ke dua
dununge tan – adoh (4 – 2)
gumrojog – toyanjog (3 – 3)
aywa – anyalemong (2 – 4)
gatra yang berisi 7 wanda, pedhotan 4 – 3, 3 – 4, atau 2 – 3 – 2 wanda.
Contoh: tembang Pangkur pada gatra ke empat
kanthi dora – wicara (4 – 3)
mundhu lit – dhaonira (3 – 4)
yen tan – mikani – rasa (2 – 3 – 2)
gatra yang berisi 8 wanda, pedhotan 4 – 4, 3 – 3 – 2, atau 3– 2 – 3 wanda.
Contoh: tembang Maskumambang pada gatra terakhir
dhedhep tidhem – sabuwana (4 – 4)
tanapi – sagunging – wadya (3 – 3 – 2)
Bimanyu – kerem– ing tirta (3 – 2 – 3)
gatra yang berisi 9 wanda, pedhotan 4 – 3 – 2, atau 4– 2 – 3 wanda.
Contoh: tembang Dhandhanggula pada gatra ke lima
akawuryan – sanggyaning – dasih (4 – 3 – 2)
apan ana – ingkang – akardi (4– 2 – 3)
gatra yang berisi 10 wanda, pedhotan 4 – 4 – 2, 4 – 3 – 3, atau 4 – 2 – 4,
Contoh: tembang Mijil pada gatra ke tiga
warna-warna – wus nglakoni – kabeh (4 – 4 – 2)
Sang Sri Nata – makaten – tandange (4 – 3 – 3)
wani ngalah – luhur – wekasane (4 – 2 –4)
gatra yang berisi 11 wanda, pedhotan 4 – 4 – 3, atau 4 – 3 – 4, wanda.
Contoh: tembang Pangkur pada gatra ke dua
mrih tan kemba – kembenganing – pambudi (4 – 4 – 3)
mrih kretarta – tenreming – lahir batin (4 – 3 – 4)
gatra yang berisi 12 wanda, pedhotan 4 – 4 – 4, 4 – 3 – 3 – 2, atau 4 – 3– 2 – 3 wanda
Contoh:
tembang Sinom pada gatra terakhir
lintring lintring – lir limun neng– jroning gelas (4 – 4 – 4)
ingkang putra – umatur – sarwi – karuna (4 – 3 – 2 – 3)
tembang Megtruh gatra pertama
sigra milir – kang gethek – sinangga – bajul (4 – 3 – 3 – 2)
b) Macapat memiliki sifat prasaja (sederhana), sehingga ketika melagukan macapat sebaiknya tidak diwiletkan seperti tembang gedhé, tengahan, pringgitan, sindhènan, uran-uran dan sebagainya. Setiap satu suku kata (wanda) hanya terdapat satu sampai empat nada, sehingga cakepan (syair) tidak kalah menonjol dibandingkan dengan melodinya.
c) Menguasai luluh tembung. Misalnya mingkar mingkuring angkara diucapkan mingkar mingkuring ngangkara.
d) Menguasai larasan dan wirama, dan mampu menjiwai masing-masing karakter macapat.
Keluwesan Macapat
Macapat memiliki lagu dan padhang-ulihan (dhing-dhong) yang telah mengalami kemapanan (kristalisasi). Padhang-ulihan (dhing-dhong) adalah istilah untuk menyebutkan rasa sebelum seleh dan rasa seleh lagu gendhing. Rasa sebelum seleh (dhing) dapat saya sejajarkan dengan tanda koma (,) dalam bahasa tulis, sedangkan rasa seleh sejajar dengan tanda titik (.).
Konsep padhang - ulihan tersebut adalah sebuah ”alur drama musikal” yang turut menentukan estetika sajian macapat. Ketika kita salah menempatkan padhang – ulihan atau salah memilih laras, maka tidak akan mungkin keindahan sajian macapat dapat tercapai. Namun demikian, drama musikal yang telah mapan tersebut justru sangat memberi kemungkinan untuk kita kembangkan menjadi sebuah lagu baru dengan tetap mengacu drama musikal macapat secara global.
Sejak Keraton Surakarta masih eksis, para Pelaku Karawitan di wilayah Surakarta telah banyak menciptakan gending-gending sekar . Antara lain gendhing-gendhing yang tergolong gendhing ageng dan sedheng (ladrang Pangkur, ketawang Kinanthi Subakastawa, Ketawang Pangkur Dhudha Kasmaran, Ayak-ayak Mijil Larasati dsb). Ki Nartosabdho memulai menciptakan gending-gending sekar yang berbentuk gendhing jineman, dolanan, lancaran garap dhangdhut) termasuk menciptakan/memodifikasi alur melodi macapat dengan tetap mengacu drama musikal macapat konvensional.
Yogyakarta, Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar