Memahami Pakem Kesenian (Seni Karawitan)
Sugito HS
1/
Kata “pakem” di dalam bausastra ‘kamus’ bahasa Jawa artinya layang wewaton ‘buku peraturan’. Kata dipakemi artinya dicatheti ‘dicatat’ atau didadekake wewaton ‘dijadikan sebagai aturan’. Istilah karawitan secara harafiah berasal dari kata dasar rawit artinya ‘kecil; rumit; indah’. Merujuk pada kamus, karawitan dapat dipahami sebagai sesuatu yang kecil, rumit, dan indah. Di dalam disiplin ilmu musik, pengertian karawitan adalah jenis karya estetik musikal yang menggunakan Tangga Nada Pentatonik. Berdasar arti dan definisi tersebut di atas, maka Pakem Karawitan dapat dipahami sebagai buku berisi tulisan yang menjelaskan peraturan mengenai banyak hal berkenaan dengan karya estetik musikal pentatonik.
2/
Kata “gamelan” adalah padanan kata gangsa, yang merupakan akronim dari kata tembaga ‘logam tembaga’ dan kata rejasa ‘logam timah’. Campuran antara logam tembaga dan timah tersebut merupakan bahan baku pembuatan alat musik (gamelan) karawitan, yang kemudian lazim disebut perunggu. Selain berbahan tersebut di atas, instrumen karawitan (gamelan) dapat juga dibuat dari bahan logam kuningan dan besi. Bahkan di daerah Kasongan (Bantul) pernah ada yang membuat gamelan dari lempung ‘tanah liat’.
3/
Di ranah kebudayaan Jawa, terlebih pada masa lampau, pola asuh terhadap anak lebih mengedepankan pencapaian kematangan psikis daripada kemahiran materiil. Tradisi tersebut terjadi juga di dalam proses pembelajaran seni karawitan. Dulu, jika orang ingin menjadi pangrawit ‘penabuh gamelan’, atau setidaknya ingin mengenal seni karawitan, maka tahapan pertama yang harus dilakukan ialah suwita; ngenger; nyantri; nyantrik kepada seorang empu karawitan. Pengertian suwita, nyantri, atau nyantrik tidak sepadan dengan berguru seperti halnya kita belajar di sekolah atau mengikuti kursus. Lebih tepatnya, nyantrik berarti mengabdikan diri. Memang terkesan berbau budaya feodal. Tapi, saya tidak sedang akan mengajak Anda untuk membahas hal itu.
Pada proses awal nyantrik kepada empu karawitan, seorang cantrik tidak serta merta mendapatkan pelajaran cara membunyikan alat musik karena statusnya memang bukan sebagai murid. Cantrik diposisikan sebagai semacam pembantu. Dia diberi izin untuk tinggal di rumah sang Empu dan dicukupi kebutuhan sehari-harinya. Namun, dia juga harus melakukan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan pekerjaan sang Empu. Sebagai contoh, misalnya seorang cantrik harus membersihkan gamelan setiap akan dan selesai dipakai. Pada tahapan ini, seorang cantrik dapat dipastikan sudah mendapatkan pelajaran yang sangat penting, yaitu spirit handarbeni ‘rasa memiliki’ terhadap gamelan. Dia kemudian menjadi orang yang sangat memahami gamelan sebagaimana dia memahami orang lain. Gamelan seolah bernyawa, memiliki perasaan dan pikiran tak ubahnya manusia. Segala etika yang lazim diterapkan dalam rangka menghargai orang lain diterapkan juga dalam merawat gamelan. Sehingga seorang cantrik telah menjadi agen pelestari seni karawitan sebelum menjadi penabuh gamelan. Sedangkan untuk dapat menguasai teknik bermain gamelan, dia hanya mengandalkan rumus 5N, yaitu nonton ‘melihat’, ngrungokake ‘mendengarkan’, niteni ‘mengingat’, nyatheti ‘mencatat’, dan nirokake ‘menirukan’. Suatu metode belajar mandiri yang memang terkesan usang untuk diterapkan pada zaman sekarang.
Nah. Saya mencurigai tradisi mencatat yang dilakukan para cantrik tersebut sebagai cikal bakal lahirnya sebuah pakem. Saya memang tidak setuju dengan usaha mendefinisikan istilah pakem (bagi seni karawitan, pedhalangan, dan tari) sebagai suatu aturan yang mengikat dalam rangka mempertahankan nilai ideal. Pakem memang kita maklumi sebagai sebuah idiom. Namun apakah kita juga harus memaklumi adanya idiom tunggal? Apakah jika Anda memainkan gamelan dengan tidak mengikuti sebuah pakem berarti rela disebut tidak punya idiom? Jika jawabannya “ya” maka ini adalah tindakan yang bodoh, bahkan sangat bodoh.
4/
Kesenian tradisional, termasuk karawitan, niscaya memiliki dua kategori, yaitu 1) kesenian tradisional klasik dan 2) kesenian tradisional kerakyatan. Istilah tradisional menunjukkan pada pengertian bahwa kesenian yang dimaksud sudah ada pada suatu tempat (wilayah geografis) tertentu, dalam waktu yang lama dan diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya secara turun-temurun. Dapat diartikan bahwa semua jenis kesenian yang memiliki daya tahan untuk lestari dan berkembang secara baik pada suatu daerah tertentu mempunyai kemungkinan menjadi kesenian tradisional. Jadi tolok ukurnya bukan pertentangan antara masa kini atau masa sekarang. Juga bukan antara sesuatu yang diklaim kuno dan modern. Sedangkan munculnya kategori klasik dan kerakyatan, sekali lagi memang berbau feodal, tidak lain berawal dari sejarah sosio-kultur bangsa yang pernah atau justru sampai sekarang memiliki sistem pemerintahan monarkhi (kerajaan). Kesenian yang termasuk kategori klasik adalah kesenian yang lahir dari dalam tembok benteng kerajaan, diciptakan oleh para ahli yang dipekerjakan atas perintah raja. Oleh karena diciptakan oleh para ahli, setidaknya menurut pengakuan orang istana, maka hasil karyanya disebut karya klasik ‘berkelas’. Sedangkan kesenian kategori kerakyatan adalah karya-karya estetik yang pastinya juga lahir dari cipta, rasa, dan karsa para ahli di bidangnya, namun tinggal di luar tembok benteng atau bukan orang yang diberi status tertentu oleh kerajaan.
Kembali ke hal pakem. Baik kesenian tradisional klasik maupun kerakyatan, keduanya pasti memiliki pakem. Dalam hal ini tentu saja pakem harus diartikan sebagai suatu rumusan yang berfungsi untuk menuntut para kreator sehingga dapat menghasilkan karya yang memiliki kadar estetika pada takaran tertentu. Meskipun demikian, memang harus diakui bahwa niscaya ada perbedaan antara pakem klasik dan pakem kerakyatan. Perbedaannya bukan terletak pada kualitas, sebab tentu saja tidak ada standar estetika yang bisa dibilang objektif. Perbedaannya lebih dipengaruhi konsep empan-papan. Namun, maaf, saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang empan-papan di tulisan ini.
5/
Jujur saja, saya menulis ini lebih karena disebabkan oleh kegelisahan setiap kali membaca tulisan atau pun mendengar percakapan yang membawa istilah “kesenian pakem” lalu sengaja dibandingkan dengan istilah “kesenian kontemporer”. Di benak saya kemudian muncul pemahaman pragmatis, yaitu bahwa ternyata ada kesenian yang tidak punya pakem. Celakanya lagi, kesenian yang dibilang tidak ber-pakem itu selalu disebut sebagai kesenian kontemporer. Benarkah demikian? Jika memang semua bentuk kesenian yang termasuk kategori kontemporer itu tidak memiliki pakem, bagaimana bisa disebut sebagai sebuah karya seni? Estetika memang tidak wadhag. Tapi bukankah estetika itu memiliki identitas (ciri-ciri) yang dapat dilihat, meskipun tidak dengan kedua bola mata? Dan pertanyaan terakhir saya adalah: jika selama ini kesenian kontemporer dipahami sebagai kesenian yang tidak ber-pakem, lalu dengan apa si Kreator kesenian kontemporer mengukur kadar estetika dalam karyanya?
Nandan, 23 Oktober 2009
ide tulisan ini berawal sesaat setelah penulis mendapatkan undangan untuk mengisi workshop dengan tema "Gamelan Kontemporer VS Gamelan Pakem"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar