Sabtu, 6 Februari 2010, Sejak jam 7 malam, beberapa aorang mulai datang ke Pendhapa yang berada di tangah kampung Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman itu. Dari sebuah baliho yang terpajang gagah di sudut halaman, tercantum bahwa sebentar lagi sebuah pertunjukan akan digelar. Kethoprak kampung...
Inilah akhir dari pesta Gelar Budaya Saparan di kampung Samirono. Sebuah perhelatan kampung yang ganjil sebenarnya. Bagaimana tidak, Samirono adalah sebuah kampung yang nyaris sulit dikategorikan. Ia bukan kampung organik, bukan pula kampung tua yang asli sebagaimana di wilayah sleman bagian utara. Samirono tercatat sebagai wilayah Sleman, tetapi satu langkah dari pal batas, adalah kampung Iromejan yang sudah wilayah Kota Yogyakarta. Samirono dijelali ratusan rumah yanh hampir seluruhnya adalah kost-kostan.
Kondisi ”desa yang kota” inilah yang saya katakan ganjil. Dan Saparan, sebuah perayaan khas pedesaan, masih bertengger bahkan semakin semarak tahun deni tahun di bawah kepemimpinan Subiantoro Kurniawan sang Kepala Dukuh. Sudahlah, memang demikian kenyataannya. Daripada ”ngrasani” ganjilnya, kita toh lebih layak mendukungnya.
Malam minggu 6 Februari kemaren adalah pertunjukan kethoprak berjudul Durung Nandur Melik Ngundhuh. Dari naskah karya Sugito HS, pegiat seni budaya Jawa, ketua komunitas Gerakan SLEnK yang juga aktivis di Bale Budaya Samirono. Kethoprak itu secara formal digarap oleh Kirwanto BG, pemuda setempat yang giat berteater. Iringan musik juga dikerjakan oleh Sugito HS dan Komunitas Gerakan SLEnK
Meski tidak bisa dikatakan ”yes!” untuk kualitas pertunjukannya, ada banyak hal yang lebih baik kita syukuri bersama dari peristiwa ini. Pertama. Ini adalah kethoprak yang dimainkan orang kampung Samirono sendiri. Apakah demikian ini istimewa? Sementara di kampung lain juga ada hal semacam ini. Ya, benar, tetapi kembali menyangkut pada Saparan, kethopra ini menjadi sedikit bernilai istimewa.
Para ketua RT dan RW beraksi dalam panggung. Barangkali lebih sering kata jumpai di medan peringatan kemnerdekaan. Perayaan 17 Agustus lebih lazim untuk berpentas sebab nasionalisme yang dibanagun negeri ini menang telah mendarah daging hingga terasa sangat miskin dan tidak kreatif sebuah kamoung yang tida menyelenggarakan apapun di bulan Agustus. Tetapi di bulan Sapar? Hanya kampung ”gila” di tengah kota ini yang memanggungkan para RT, RW dan ketua Pemuda nya.
Kedua yang istimewa adalah bentuk kethoprak mereka yang tidak ”mbagusi” dengan mengangkat tema politik dan istana sentris sebagai mana lazimnya kethoprak yang ada. Bale Budaya Samirono malam itu hanya menyajikan panggung kecil dan sederhana tanpa lembaran Tonil bergambar pilar keraton atau pemandangan pegunungan. Di sana tidak ditemukan mbok emban, putri raja yang bersedih hati, atau senapati yang sedang merencanakan penggempuran musuh. Di sana hanya ada warga yang steres memikirkan kemelaratan dan mencari guru spiritual untuk mendapat wahyu kemuliaan, seorang perampok yang ingin memperistri anak kyai, dan pamong desa yang merencanakan menghijaukan jalanan kampung.
Gelak tawa memang terus bergema di ruang pentonon yang menyaksikan adegan-adegan dari para tetangganya sendiri tersebut. Tetapi, di dalam hati mereka, sungguh sangat terasa apa yang disajikan di panggung adalah masalah kampung itu sendiri. Jalanan yang panas tanpa pepohonan, warga yang tidak semuanya sejahtera ekonomi, juga perselisihan antar tetangga yang kerap terdengar. Dan yang pasti, semangat negatif sebagian warga yang tidak mau repot tetapi menginginkan kebaikan, Durung Nandur Melik Ngundhuh.
Cukup dua saja saya sebutkan keistimewaan itu. Paling tidak yang ketiga adalah mereka telah mampu menyajikan tontonan bagi masyarakatnya sendiri tanpa harus mengundang grup profesional. Sebagai pesta rakyat, mereka tidak butuh dramaturgi yang solid, mereka tidak butuh bloking dan tata artistik yang penuh simbol mutakhir. Cukup dengan dialog-dialog impove yang ”selalu nglucu” itu saja, mereka sudah melakukan sesuatu yang demokratis dan kontemporer. Demokratis sebab kethoprak itu tumbuh dari, oleh dan untuk warga Samirono. Kontemporer sebab mereka tidak sama sekali memperhatikan dramaturgi kethoprak klasik dan mereka membicarakan persoalan dan solusi dari apa yang sedang mereka hadapi saat ini.
Seperti angin yang terus berhembus, jangan berhenti, Samirono.
M. Ahmad Jalidu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar