MENGENAL KARAWITAN SEBAGAI PENGETAHUAN
Sugito HS
I
Sesungguhnya, kali ini saya sangat ingin menulis beberapa paragraf yang kemudian dapat disebut sebagai tulisan teoritis tentang karawitan. Tujuan saya, agar tulisan itu nantinya dapat dijadikan referensi oleh siapa saja yang termasuk kategori awam (orang-orang yang belum atau bahkan tidak pernah menempuh pendidikan seni karawitan melalui jalur formal, tapi ingin mendapatkan pengetahuan tentang karawitan). Beberapa hari sebelum mulai menulis, saya sudah ngudhal-udhal kamar, mengambil beberapa buku yang berisi teori karawitan, dan membacanya. Saya juga menghubungi beberapa teman, meminjam buku mereka untuk saya baca. Meskipun begitu, sampai lebih seminggu, saya tidak mendapatkan semangat untuk menyalakan komputer. Jangankan beberapa paragraf, satu kalimat pun tidak saya dapatkan sebagai bahan tulisan. Pikiran saya terus saja berputar, mengeluhkan bahasa teori yang selalu sulit dipahami orang awam (itu yang saya rasakan). Lalu bagaimana caranya berbagi pengetahuan seni karawitan dengan bahasa yang mudah?
Hari ini saya putuskan untuk tetap harus menulis, entah akan disebut apa, yang penting maksud saya adalah tulisan yang dapat membantu siapapun dalam usaha memahami karawitan sebagai teori. Tulisan ini merupakan catatan pengalaman saya selama menjadi pangrawit (penabuh gamelan) sejak tahun 1997. Oleh karena itu, tentu saja tulisan ini hanya dapat berbagi pengetahuan seni karawitan Jawa, sesuai dengan pengalaman saya selama tinggal di Solo dan Jogja.
II
Sering terjadi, pada suatu event pergelaran karawitan, baik dalam fungsinya sebagai klenengan (konser musik), iringan tari, maupun iringan wayang, seluruh kru pertunjukan mengalami detik-detik genting menjelang pementasan. Contoh kasus, kami kelabakan karena pengendhang-nya (pemain instrumen Kendhang) belum juga datang di menit ke-tigapuluh sebelum pertunjukan dimulai. Padahal, sangat mungkin, jika yang terlambat itu penyaron (pemain instrumen Saron), kami tenang-tenang saja. Dulu saya berpikir, pengendhang selalu diistimewakan, dan itu tidak adil. Namun, pada akhirnya, saya memaklumi, tentu saja dengan alasan yang jelas.
Tidak ada yang istimewa pada diri pengendhang, kaitannya dengan pemain yang lain. Justru kadar tanggungjawabnya yang istimewa, tanpa harus dibandingkan dengan pemain yang lain. Sebab, kata “kadar” di sini tidak merujuk pada ukuran wadhag.
Penjelasannya begini, pengendhang, di dalam pergelaran, dibebani tugas untuk bukan hanya memainkan instrumen kendhang. Pengendhang memanggul tugas sebagai kiblat pemain lain dalam menegaskan wirama. Ada wirama Lancar, wirama Tanggung, dan wirama Dadi. Pengertian wirama adalah perbandingan antara pola tabuhan instrumen Saron Penerus dengan nilai satu ketukan pada satuan melodi. Lebih jelasnya begini, wirama Lancar adalah kecepatan jalannya lagu yang hanya memungkinkan Saron Penerus mengisi satu pukulan dalam satu ketukan. Sehingga wirama Lancar sering dilambangkan sebagai wirama 1:1. Wirama Tanggung adalah kecepatan jalannya lagu yang mampu memberi ruang bagi Saron Penerus untuk mengisi dua pukulan dalam satu ketukan (wirama 1:2). Wirama Dadi adalah kecepatan jalannya lagu yang memungkinkan Saron Penerus mengisi empat pukulan dalam satu ketukan (wirama 1:4).
Nilai satu ketukan dalam hal ini sesungguhnya adalah ukuran jarak antara ketukan pertama dengan ketukan kedua, ketukan kedua dengan ketukan ketiga, dan seterusnya, dalam pola hitungan yang teratur (ajeg/metris). Karawitan menggunakan istilah gatra sebagai ukuran satuan terkecil melodi. Satu gatra berisi empat ketukan dengan nilai penuh (pada dasarnya sama dengan pengertian satu bar dalam birama 4/4 di musik Barat).
Tanggungjawab pengendhang selanjutnya adalah sebagai pemegang hak tunggal untuk menentukan Laya. Pengertian laya adalah ukuran kecepatan jalannya lagu berdasarkan selera rasa (pilihan estetik) pengendhang. Maksudnya, dalam satu jenis wirama, pengendhang memiliki pilihan laya. Nilai ukuran laya hanya berdasarkan kesan rasa. Ada laya Seseg (cepat) dan laya Tamban (lambat). Pada prakteknya, suatu gendhing yang berjalan dalam wirama Dadi, misalnya, dapat dimainkan dalam laya Seseg maupun laya Tamban, terserah pada selera pengendhang. Tentu saja kebebasan selera pengendhang dalam menentukan laya dibatasi oleh ukuran estetika, karena keputusannya diikuti oleh seluruh pemain lain. Jadi, kebebasan menentukan laya ini tidak boleh diartikan oleh pengendhang sebagai tindakan sakarepe dhewe ‘seenaknya sendiri’. Melainkan, dialah yang memikul beban tanggungjawab untuk menunjukkan pertunjukan musikal yang bernilai estetika tinggi kepada apresiator, setidaknya dari satu unsur, yaitu irama.
Selanjutnya, pengendhang juga diberi tugas untuk mengeksekusi putusan terhadap kebutuhan dinamika pada jalannya sebuah gendhing. Kebutuhan untuk memainkan gendhing secara dinamis sangat tampak ketika karawitan difungsikan sebagai ilustrasi (mengiringi tari dan wayang). Pengertian dinamis dalam hal ini saya batasi sebagai pilihan volume bunyi. Ada bunyi sero ‘keras’ dan bunyi lirih ‘lembut’. Pada prakteknya, dalam mengiringi pertunjukan tari maupun wayang, ada kalanya gendhing yang sedang dimainkan harus di-sirep (dilirihkan), lalu pada saat yang dibutuhkan (dalam tugasnya sebagai penguat dramatik) harus di-wudhari (dikeraskan lagi). Demikian pula pada pilihan suwuk (mengakhiri jalannya gendhing). Ada suwuk Tamban (berhenti dengan teknik melambatkan tempo sedikit demi sedikit) dan suwuk Gropak (berhenti dengan menambah kecepatan tempo secara bertahap hingga bagian akhir gendhing tepat berada di titik tempo tercepat).
Atas dasar penjabaran tugas pengendhang tersebut di atas, saya memaklumi keistimewaan statusnya. Dan, saya juga dapat memahami predikat yang disematkan pada instrumen kendhang oleh para empu karawitan sebagai Pamurba Wirama.
III
Dulu, saya beranggapan bahwa Kethuk dan Kempyang adalah instrumen yang tidak penting, bahkan kadang kala saya anggap tidak ada gunanya untuk ikut dibunyikan dalam suatu pergelaran karawitan. Sehingga jabatan sebagai pengethuk membuat saya malu. Kesadaran bahwa saya adalah pangrawit yang paling bodoh di antara pengrawit lain selalu muncul saat saya mendapat jatah untuk nabuh kethuk. Tapi, sekarang, perasaan seperti itu sudah tidak pernah lagi ada. Bukan karena sekarang saya jarang ngethuk. Melainkan saya sudah mengerti betapa berharganya instrumen tersebut.
Kethuk adalah instrumen yang sangat sederhana, baik wujud maupun pola bunyinya. Bentuknya bulat, bagian tengah menonjol, persis bentuk Gong, ukurannya kecil (berdiameter kurang dari tigapuluh sentimeter). Bayangkan, pola seperti apa yang dapat dieksplor dari instrumen bernada tunggal ini?
Instrumen kempyang adalah pasangan instrumen kethuk. Bentuknya dapat dibilang sama. Hanya ukuran dan nadanya yang berbeda. Ukuran kempyang lazimnya lebih kecil daripada kethuk. Sedangkan nadanya lebih tinggi dibanding nada kethuk.
Kedua instrumen tersebut lazimnya dimainkan oleh satu orang. Oleh karena itu, kempyang dianggap hanya sebagai pasangan kethuk. Anggapan ini dikuatkan lagi oleh bukti bahwa ada bentuk gendhing tertentu yang memang tidak menggunakan kempyang.
Fungsi kethuk-kempyang ternyata sangat penting. Kedudukannya sama dengan instrumen Kenong, Kempul, dan Gong. Buktinya, kelima lambang instrumen itulah yang pasti digunakan dalam merumuskan bentuk gendhing. Dengan mengetahui pola permainan kelima instrumen tersebut, maka seorang pendengar sekalipun pasti dapat mengidentifikasi bentuk dari suatu gendhing yang disuguhkan. Sebagai contoh, misalnya, dua buah gendhing yang sebenarnya berbeda bentuk, sangat mungkin memiliki susunan melodi yang sangat mirip atau bahkan sama persis secara keseluruhan atau pada beberapa bagian tertentu. Jika hanya didengarkan alur melodinya, maka akan terkesan sama. Namun, jika memerhatikan pola permainan yang dijalankan oleh instrumen kethuk, kempyang, kenong, kempul, dan gong, apresiator akan tahu bedanya.
Macam-macam nama bentuk gendhing, delapan di antaranya adalah Gangsaran, Lancaran, Ketawang, Ladrang, Srepeg atau Playon, Sampak, Kemuda, Ayak-ayakan. Masih ada beberapa bentuk lagi yang dikenal di dalam karawitan. Tapi, maaf, tidak saya lengkapkan sekaligus, demi mengurangi jumlah kosakata bahasa Jawa di tulisan ini.
Berdasar keterangan di atas, maka kedudukan kethuk, kempyang, kenong, kempul, dan gong, dapat disimpulkan sebagai Pamengku Gendhing (unsur kerangka gendhing). Sedangkan fungsinya adalah sebagai Pamangku Gendhing (penanda identitas bentuk gendhing).
IV
Sepanjang pengalaman menjadi pangrawit, saya jarang mendapat kesempatan nabuh Demung, Saron, dan Slenthem. Mungkin karena perbendaharaan gendhing yang saya hapal memang terbukti hanya sedikit. Jika saya paksakan untuk nabuh demung dengan bantuan partitur (notasi tertulis), maka resiko yang harus saya antisipasi adalah tidak ajeg-nya tempo lagu karena konsentrasi terbagi untuk membaca notasi.
Selain masalah kekurangan kosa-gendhing, saya juga terbukti lemah secara fisik, sehingga cenderung beresiko menghasilkan volume bunyi melodi yang tidak rata jika memainkan instrumen demung. Atas kesadaran inilah, dalam setiap kesempatan nabuh, saya memaklumi keputusan teman-teman sesama pangrawit yang tidak menempatkan saya di instrumen demung, slenthem, dan saron (instrumen Balungan –mungkin karena bentuknya yang seperti bilah, menyerupai balung ‘tulang’).
Fungsi instrumen balungan adalah sebagai Pamangku Lagu (menjalankan lagu suatu gendhing). Jadi, kedudukannya adalah sebagai instrumen melodi pokok.
Berkaitan dengan melodi, di dalam karawitan ada beberapa istilah yang dikenal sebagai nama pola melodi, dua di antaranya adalah motif balungan Nibani dan motif balungan Mlampah/Mlaku. Motif balungan Nibani adalah pola melodi yang di dalam satu gatra (empat ketukan berurutan) hanya berisi dua nada, terletak pada ketukan genap (pertama dan ke-empat). Sedangkan motif balungan Mlampah adalah pola melodi yang di dalam satu gatra berisi empat nada, satu nada masing-masing pada tiap ketukan.
IV
Masih ada beberapa instrumen yang belum saya terangkan di tulisan ini, yaitu, Bonang Barung, Bonang Penerus, Gender Barung, Gender Penerus, Gambang, Rebab, dan Suling. Dan, masih ada beberapa instrumen karawitan lain yang meski memang jarang ditemui, digunakan, sekaligus dibahas, juga belum terbahas dalam tulisan ini. Namun, sengaja saya mengambil jeda sampai di sini. Semoga saya dapat melanjutkan tulisan ini di kesempatan berikutnya.
Sesuai dengan judulnya, juga sesuai dengan niat saya, tulisan ini mencoba berbagi pengetahuan tentang karawitan. Sebab, saya sadar, tidak semua orang memiliki minat untuk mengenal karawitan dalam wujud keterampilan bermusik.
Nandan, 20 Nopember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar