Rabu, 18 November 2009

ARTIKEL

MENYADARI TUJUAN MEMPELAJARI KARAWITAN
Sugito HS

I
Tujuh bulan yang lalu, suatu sore, ketika sedang mengajar karawitan di salah satu rumah warga di dekat sekretariat komunitas saya, ada seorang gadis datang mengendarai motor, memasuki halaman rumah. Sebelum dia melepas helm, saya sudah yakin tidak mengenalnya. Setelah dia memarkir motor, melepas helm, dan menaiki halaman pendhapa, saya semakin yakin bahwa belum pernah bertemu dan mengenalnya. Meskipun begitu, saya tertarik untuk peduli dengan kedatangannya. Alasan saya sederhana. Pertama, gadis itu cantik, setidaknya menurut saya. Kedua, sejak detik pertama setelah melepas helm, dia terus tersenyum. Saya pun berusaha membalas senyumnya. Selanjutnya, perkenalan berlangsung baik, hangat, dan menyenangkan, meskipun sedikit kaku.
Siapa dia, siapa namanya, dan apa keperluannya? Inilah ceritanya. Gadis itu adalah salah satu pekerja di sebuah LSM di Yogyakarta. Usianya 23 tahun, warga negara Jerman, berdarah Vietnam. Namanya Kieu Ly Doan. Dia sarjana teknik. Menemui saya untuk belajar karawitan.
Ly, begitu saya memanggilnya, menjelaskan kepada saya bahwa dia belum pernah belajar musik, bahkan musik modern sekalipun. Ly mengaku tidak bisa memainkan gitar, piano, biola, flute, dan semua alat musik lain, apalagi gamelan. Ly menceritakan, rutin seminggu sekali istirahat malamnya sangat terganggu oleh “berisik” bunyi gamelan dari rumah di sebelah kontrakannya. Empat bulan bertahan dan berusaha mengakrabi gangguan, tidak membuatnya tenang. Ly memutuskan untuk belajar karawitan dengan tujuan menemukan sendiri hal yang membuatnya terganggu selama ini ketika mendengar bunyi gamelan.
Entah apakah tujuannya berhasil atau tidak, yang jelas sejak pertemuan itu (awal Mei 2009), Ly tercatat sebagai murid privat saya selama enam bulan (pertengahan bulan Oktober dia pulang ke Jerman). Ada pelajaran penting yang saya dapatkan dari Kieu Ly Doan. Usai latihan nabuh gamelan di suatu sore, dia bilang kepada saya bahwa akan mampir dulu ke Vietnam sebelum pulang ke Jerman. Tujuannya adalah untuk belajar menulis bahasa Vietnam. Saya pikir, Ly memang orang yang suka belajar. Sebab saya tahu, di sini dia tidak hanya belajar karawitan. Di sela-sela waktu kerjanya, Ly juga belajar melukis dan bahasa Indonesia. Tapi, ketika saya tanya, “Apakah dari dulu kamu suka belajar banyak hal?” dia menjawab, “Aku tidak suka belajar, tapi aku suka bisa melakukan banyak hal”. Jawaban Ly membuat saya terpaksa menahan napas beberapa detik dan memaksa saya memikirkan kalimat itu sampai beberapa hari.

II
Pertengahan tahun 2007 saya diundang oleh seorang teman untuk datang ke rumahnya tanpa diberitahu dalam rangka apa. Saya memenuhi undangan itu. Di beranda rumahnya, saya dikenalkan kepada seorang pria bule yang sudah lebih dulu duduk di salah satu kursi ketika saya datang. Dari perkenalan itu, saya mendapatkan beberapa informasi. Namanya Shawn Cleary, warga negara Kanada. Usianya 29 tahun, sudah beristri dan punya satu anak laki-laki. Shawn datang ke Indonesia untuk penyuluhan sanitasi. Dia doktor bidang teknologi terapan. Tujuannya bertemu saya adalah untuk belajar karawitan.
Shawn menerangkan bahwa hanya punya waktu dua minggu berada di Jogja. Hanya punya waktu dua kali untuk bertemu saya. Itupun hanya setiap jam empat sampai enam sore. Dia menjelaskan lagi bahwa di pertemuan pertama nanti akan belajar nabuh gamelan, dengan lebih dari satu instrumen. Sedangkan di pertemuan kedua, dia akan belajar nembang. Saya tidak keberatan dengan keinginannya. Saya berpikir, dia bukan orang bodoh yang saat itu sedang berkhayal bahwa besok sore belajar nabuh gamelan selama 120 menit, lalu besok lusa sudah menjadi seniman karawitan. Saya berusaha yakin bahwa Shawn orang cerdas, sehingga tahu batas target hasil belajarnya.
Pada waktu latihan di hari pertama, saya memberikan partitur lengkap gendhing Lancaran Kebo Giro, Pelog Barang. Shawn memulai pelajaran hari itu dengan nabuh instrumen Demung, lalu Kendhang, Bonang Barung, Kenong, Kempul, dan Gong. Selesai latihan, dia bilang kepada saya, “Sekarang aku mulai paham dengan apa yang kuanggap aneh waktu pertama kali mendengar komposisi karawitan”. Shawn memang berbeda dengan Ly. Shawn menyukai banyak jenis musik, juga mengoleksi bermacam alat musik. Shawn mengakui, keinginannya mengenal gamelan disebabkan oleh kesimpulan bahwa bunyi nada-nada karawitan itu terasa aneh.
Menurut saya, pendapat Shawn itu wajar. Kesimpulannya juga tidak istimewa. Sebab, saya yakin seratus persen, bunyi gamelan pasti terasa aneh bagi semua orang yang sehari-harinya terbiasa mendengarkan musik diatonis. Apalagi Shawn lahir di Kanada, sebuah negara yang saya pastikan nyaris tidak memiliki kekayaan musik etnik seperti Indonesia.
Satu pelajaran penting yang saya dapatkan dari Shawn Cleary adalah bahwa bisa nabuh gamelan itu tidak harus menjadi tujuan akhir belajar karawitan.

III
Nyaris setiap bulan September, dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini, saya mengalami peristiwa yang mirip. Yaitu, ditemui oleh seorang atau lebih remaja. Hampir bisa dipastikan, mereka adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi, tempat di mana saya dulu pernah sebentar belajar ilmu bahasa. Mereka datang dengan maksud belajar karawitan.
Entah kenapa, saya memperlakukan mereka berbeda dengan Ly dan Shawn, di pertemuan pertama. Satu pertanyaan klise selalu saya sampaikan kepada mereka, yaitu, “Apa tujuan kalian belajar karawitan?” padahal saya sudah bisa menebak jawabannya. Bagaimanapun susunan kalimatnya, bisa disimpulkan bahwa jawaban mereka adalah, “Saya belajar karawitan karena ada mata kuliah itu di semester kedua”. Ada yang terasa ganjil pada kalimat jawaban ini, setidaknya menurut saya. Jika di perkuliahan sudah didapatkan, kenapa harus belajar di luar? Ganjilnya lagi, mereka melakukannya saat mata kuliah karawitan belum mereka tempuh. Jawaban mereka pun masih seragam, yaitu, “Saya ingin mendapatkan nilai yang bagus dari semua mata kuliah, termasuk mata kuliah karawitan”.
Satu pelajaran penting yang saya dapatkan dari mereka adalah belajar karawitan itu tidak harus dalam rangka untuk menjadi pengrawit atau pun komponis, melainkan boleh juga dalam rangka untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus. Sesungguhnya saya membenci orang yang lebih “memuliakan” angka (nilai ujian) daripada kemampuan riil (dalam konteks ini adalah ketrampilan nabuh gamelan), tapi terhadap jawaban mereka, saya suka. Setidaknya, bagi saya, mereka sudah jujur.

IV
Selama kurang lebih dua tahun, dari tahun 2003 sampai 2005, rutin setiap hari minggu, jam tiga sore, saya menemani Sarah (ekspatriat asal Columbia) dan Benyamin (ekspatriat asal Jerman) nabuh gamelan di pendhapa rumah seorang teman. Keduanya bukan orang yang “dekat” dengan musik. Sarah bekerja di bidang property. Benyamin bekerja di bidang pengolahan bambu. Mereka tidak tertarik untuk mengerti seluk-beluk karawitan. Tapi, dengan padatnya kesibukan kerja, akhir pekan menjadi waktu yang sangat berharga bagi mereka, tentunya untuk melepas kepenatan. Belajar karawitan menjadi pilihan Sarah dan Benyamin agar refresh. Beraktivitas di luar keahlian, bidang, dan tradisi sendiri, menurut mereka seperti mengalami alienasi, hidup di dunia lain, sehingga seperti menjadi orang lain, lupa dengan tumpukan pekerjaan rumah, meskipun keadaan itu hanya berlangsung sekitar 180 menit saja.
Satu pelajaran penting yang saya dapatkan dari Sarah dan Benyamin adalah bahwa ternyata aktivitas nabuh gamelan boleh hanya difungsikan sebagai alternatif refreshing.

V
Rangkaian pengalaman pribadi yang tertulis di atas, telah menyadarkan saya sendiri. Sehingga sekarang saya bisa menjawab pertanyaan: Kenapa waktu latihan karawitan, ibu-ibu PKK lebih banyak menghabiskan waktunya untuk ngerumpi ?; Kenapa si Bagus, Ratri, Komang, Bayu, dan Ngurah, selalu meminta waktu lebih dari sepuluh menit untuk istirahat (dan ternyata sering dihabiskan untuk bermain petak-umpet) tiap latihan karawitan Sabtu sore?
Saya mulai sering membayangkan betapa stres-nya mereka, para pengajar karawitan di lembaga pendidikan formal, yang berusaha mati-matian mencetak para pangrawit profesional. Saya juga mulai sering diganggu oleh perasaan berdosa kepada guru-guru saya. Beban tanggungjawab mereka ternyata sangat berat, demi untuk menjadikan saya pintar nabuh gamelan. Saya membayangkan betapa kecewanya mereka jika tahu ternyata saya sebenarnya tidak ingin pintar karawitan.
Sekarang, saya sering berada di posisi seperti guru-guru saya dulu, menjadi pengajar karawitan. Namun, saya bersyukur, tidak pernah pusing seperti mereka waktu mengajar saya. Sebab, saya sengaja tidak peduli apakah murid-murid saya akan berhasil menjadi pangrawit atau tidak. Saya juga sengaja tidak peduli apakah mereka memahami nilai-nilai filosofis ber-karawitan atau tidak. Meskipun begitu, saya tetap berusaha memahami bahwa karawitan memang memiliki dimensi konkret (ketrampilan nabuh) dan dimensi abstrak (nilai keselarasan hidup). Sehingga saya juga masih tetap berusaha mengajarkan karawitan secara komprehensif kepada para murid. Namun, pelajaran penting yang saya dapatkan dari usaha pemahaman ini adalah bahwa setiap orang pasti dihadapkan pada banyak pilihan tujuan, termasuk ketika akan mulai mempelajari karawitan. Maka, selanjutnya, pilihan harus ditentukan. Konsekuensinya, pemilih hanya bisa memilih satu tujuan pada satu waktu. Dan, yang terpenting bagi saya, memilih (menentukan) tujuan adalah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang “merdeka”.

Nandan, 16 Nopember 2009

Tidak ada komentar: