Sugito HS
I. Konsep Ana Rega Ana Rupa
Kenangan masa kecil, tinggal di pelosok desa ujung selatan Magetan, masih tersimpan baik di benakku. Tinggal terpisah dari orangtua. Belajar tentang banyak hal mengenai kehidupan kepada kakek dan nenek, orangtua kandung ibuku. Nyaris tidak ada yang terlewatkan. Banyak hal diajarkan sendiri oleh beliau berdua.
Kakekku adalah seorang pemain wayang orang, penari, pemain kethoprak, penyungging wayang, juga seorang pengrajin anyaman bambu. Hanya sesekali saja beliau menyentuh cangkul. Bukan dalam rangka bertani. Melainkan hanya untuk sekadar membersihkan rumput di halaman.
Nenekku memiliki warung kopi yang hanya buka di malam hari sepanjang minggu. Aktivitas lainnya memelihara ternak untuk diperjualbelikan. Tidak seperti lazimnya kebanyakan orang desa yang memelihara ternak sebagai tabungan bahkan untuk bakal diwariskan kepada anak-cucu.
Hidup di antara mereka menjadikan saya akrab dengan aktivitas dan tradisi jual-beli tradisional. Bagaimana tidak? Di samping sebagai penjual jasa seni pertunjukan tradisional, kakekku juga produsen sekaligus penjual produk kerajinan tradisional. Sedangkan nenekku, di samping sebagai penjual produk makanan dan minuman ala ndesa, juga sebagai pedagang hewan ternak: kambing, sapi, dan ayam kampung, yang hanya lazim dipelihara oleh orang di pedesaan.
Satu hal yang sangat berkesan hingga sekarang kaitannya dengan fenomena latah beriklan di kalangan pelaku bisnis masa kini. Nenekku sangat betah berulangkali, bahkan rutin berkala menegaskan ungkapan ndesa “ana rega ana rupa”. Ungkapan tersebut, setahu saya, hingga sekarang masih diyakini kebenarannya oleh masyarakat, bukan hanya masyarakat Jawa, juga bukan hanya oleh masyarakat rendah pendidikan dan rendah ekonomi.
Mari kita terjemahkan ungkapan yang saya duga asli Jawa ini. Ana rega ana rupa, secara harafiah artinya ‘ada harga ada wujud’. Tetapi jangan sampai Anda menyejajarkannya dengan ungkapan “ada uang ada barang”. Makna ungkapan ana rega ana rupa lebih dari sekadar memperkarakan barang dan uang; produsen dan konsumen; menjual dan membeli. Ana rega ana rupa sudah memperkarakan hubungan linier antara harga dengan kualitas barang. Sehingga, dengan demikian, ana rega ana rupa adalah ayat yang menjadi dasar lahirnya pemahaman logis bahwa harga barang yang berkualitas bagus tentu berbeda dengan harga barang yang berkualitas buruk.
Demi memudahkan pemahaman, saya akan memberikan analogi sesuai dengan profesiku sebagai pengrawit (penabuh gamelan). Jadi, demikian. Berdasarkan bahannya, gamelan dibedakan menjadi tiga. Pertama, gamelan berbahan gangsa (akronim dari tembaga dan rejasa/timah), atau lazim disebut gamelan perunggu. Kedua, gamelan berbahan kuningan. Ketiga, gamelan berbahan besi. Harga logam perunggu lebih mahal dibandingkan dengan logam kuningan. Demikian juga, harga logam kuningan lebih mahal daripada harga logam besi. Ketiga jenis gamelan tersebut oleh masyarakat dimaklumi berbeda kualitasnya, dan berbetulan saja berbanding sejajar dengan harganya. Artinya, mahalnya harga gamelan perunggu tidak hanya dimaklumi sebagai konsekuensi dari mahalnya harga beli logam perunggu, namun juga kualitas bunyinya sebagai yang paling baik jika dibandingkan dengan gamelan kuningan dan gamelan besi.
Dari memahami ilustrasi di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa mahalnya harga beli barang yang berkualitas baik adalah bersifat mutlak. Jika harga satu set gamelan besi adalah seratus juta rupiah, lalu harga satu set gamelan kuningan adalah dua ratus juta rupiah, dan harga satu set gamelan perunggu adalah tiga ratus juta rupiah, tidak dapat diartikan bahwa harga gamelan perunggu mahal, karena sudah sesuai dengan harga beli bahan dasar dan kualitas barang sesuai dengan fungsinya. Sehingga, kita hanya boleh mengatakan bahwa gamelan perunggu lebih mahal daripada gamelan kuningan atau gamelan kuningan lebih mahal daripada gamelan besi. Tetapi salah jika kita mengatakan bahwa gamelan perunggu mahal. Kira-kira begitulah terjemahan dari ungkapan ana rega ana rupa.
II. Tradisi Gethok-tular
Istilah iklan, promosi, beriklan, berpromosi, nyaris tidak dikenal oleh masyarakat bisnis tradisional, yang di dalamnya termasuk juga kakek dan nenekku. Hingga sekarang, sewaktu menonton televisi, nenek pasti berseru, “Wah. Tetawa maneh,” jika tayangan acara kegemarannya break dan diisi iklan. Begitulah. Nenekku. Beliau memang sangat sederhana, atau mungkin lebih tepatnya sangat ndesa.
Asing terhadap istilah iklan bukan berarti mereka tidak melakukan aktivitas beriklan atau tetawa. Masyarakat bisnis tradisional memiliki tradisi beriklan yang khas, yaitu gethok-tular. Misalnya, para dalang wayang kulit yang kukenal. Meski namanya sudah tenar di seantero Jawa, bahkan Indonesia, atau dunia, mereka tidak akrab dengan aktivitas beriklan. Mereka semacam tidak tergiur oleh fakta ampuhnya baliho, iklan media cetak, dan iklan media elektronik, termasuk juga ngetrendnya beriklan melalui internet. Mungkin karena kebanyakan dari mereka termasuk gaptek. Akan tetapi, terlepas dari persoalan sumber daya manusianya, terbukti bahwa gethok-tular adalah metode beriklan yang menurut saya layak dicita-citakan sebagai dominan alternatif beriklan di masa mendatang. Gethok-tular terjaga oleh dua hal, yaitu kebenaran dan kejujuran.
Begini ilustrasinya. Pada satu kesempatan saya nanggap wayang. Dalangnya temanku sendiri. Oleh karena dia temanku sendiri maka saya cukup mengeluarkan sedikit uang untuk membayar pertunjukan wayang. Sudah semestinya, jika saya membayar dengan murah, maka saya tidak mendapatkan hak yang cukup untuk mengritik kualitas pertunjukan wayangnya. Asalkan pertunjukan wayang berjalan dengan lancar dari awal hingga usai saya sudah puas. Tidak harus peduli terhadap komentar penonton atas kualitas pertunjukannya. Juga tidak harus sok berilmu dengan menganalisa pertunjukan tersebut menggunakan teori apresiasi seni yang kuperoleh dulu semasa kuliah.
Ternyata bagaimana hasilnya? Misalkan saja pertunjukan berjalan dengan lancar, penuh sesak oleh penonton, sering terdengar tepuk tangan penonton sebagai isyarat kekaguman terhadap kualitas dalang, tentu juga sebagai isyarat bahwa mereka puas terhadap kualitas pertunjukan wayangnya. Bermula dari sinilah tradisi gethok-tular dilakukan, baik oleh saya sendiri, salah seorang anggota keluargaku, atau para penonton. Nama dalangnya akan diingat berikut namaku sebagai penanggap wayang. Alasan mengingat nama dalang adalah untuk diwartakan kepada banyak orang di sekitar si pembawa berita. Alasan mewartakan pengalaman mengapresiasi pertunjukan wayang di rumahku adalah agar kesinambungan tontonan wayang yang berkualitas dapat terjaga. Alasan mereka mengingat namaku tentu saja untuk menjaga kemungkinan jika ada orang lain yang menghendaki nanggap dalang yang temanku tadi, padahal tidak tahu alamatnya. Maka cukup dengan bertanya kepada saya. Anda harus maklum akan kasunyatan bahwa kartu nama saja belum tentu para dalang itu punya.
Mengenai ampuh atau tidaknya tradisi tetawa model gethok-tular saya tidak berani menjamin. Apalagi jika dibandingkan dengan model yang memanfaatkan kecanggihan teknologi mutakhir. Tetapi, kembali kusampaikan bahwa gethok-tular dijamin kebenaran dan kejujurannya. Silahkan Anda membandingkannya dengan realitas beriklan saat ini.
III. Realitas Kemelaratan
Fakta membuktikan bahwa masyarakat di sekitar kita tidak dapat disebut sebagai masyarakat miskin secara ekonomi. Silahkan menyaksikan sendiri lalu-lalang kendaraan keluaran terbaru baik roda dua atau roda empat.
Tidak perlu pergi ke kota yang termasuk kategori metropolitan. Cukup dengan berdiri di tepi jalan di pinggiran kabupaten kecil saja. Anda akan menyaksikan kasunyatan yang mengagumkan. Pusingnya kepala para aparat pemerintahan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan beberapa yang lain perihal regulasi kendaraan di jalan sudah bukan hal asing bagi aparta di kota kecil. Silahkan juga berkunjung ke rumah-rumah di sekitar tempat tinggal Anda. Kasunyatan kemiskinan tidak akan Anda dapatkan dengan melihat perabot yang dimiliki oleh pemilik rumahnya. Apalagi dengan melihat gaya hidup mereka.
Meskipun begitu, langka yang bersedia jujur mengaku kaya secara ekonomi. Mereka memang telah jujur dengan mengaku miskin. Sebab, perputaran keuangan mereka pada dasarnya tidak sesuai dengan meningkatnya selera hidup yang berefek ke meningkatnya kebutuhan. Jadi, kesimpulannya, sebagian besar dari masyarakat kita adalah orang-orang yang kaya hutang, atau hidup berkecukupan karena berani berhutang banyak.
IV. Fenomena Kapitalisme
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membicarakan istilah ini. Oleh karena itu saya ingin menyederhanakan pengertian subjudul di atas sesuai dengan kemampuan bahasaku, yaitu dengan pemahaman bahwa gejala yang dapat kuindera saat ini adalah dunia yang keseluruhan isinya sudah menjadi pasar. Sehingga hanya ada penjual dan pembeli, produk dan uang, menawarkan dan menawar.
Sangat masuk akal jika yang terjadi di sekitar kita sekarang adalah ramainya aktivitas beriklan (menawarkan). Juga sudah sepantasnya jika kerinduan yang paling besar bagi masyarakat masa kini adalah kerinduan terhadap datangnya iklan. Tidak aneh jika di banyak kesempatan, di bermacam tempat orang-orang sibuk dengan susunan kata persuasif dalam rangka menawarkan dagangan, apa pun itu.
Tidak benar jika kita menyalahkan orang-orang terdekat untuk mengendalikan nafsunya atas kebutuhan untuk menawar dagangan lalu membelinya. Para pedagang sudah beriklan dengan dasar kebenaran meski tidak beriklan dengan benar. Artinya, sudah benar adanya jika para pedagang sekarang lebih suka berhiruk-pikuk dalam pesta iklan barang-barang kebutuhan tersier dengan harga yang dapat dijangkau oleh anak SMP walau tidak peduli terhadap kualitas dagangan yang diharapkan oleh pembeli.
Kebenaran berikutnya bagi para pedagang adalah kesadaran mereka terhadap realitas kemiskinan masyarakat. Sehingga lahirlah produk-produk berharga terjangkau oleh masyarakat rendah ekonomi. Hal itu adalah keputusan yang benar bagi para pedagang agar bertahan menjadi pedagang di tengah-tengah masyarakat yang miskin.
Nah, sesungguhnya yang harus disayangkan adalah mental masyarakat yang berlaku sebagai pembeli. Masyarakat pembeli tidak lagi mengimani ana rega ana rupa. Masyarakat pembeli secara berjamaah telah menafikan esensi kualitas sebagai unsur yang harus terdapat pada suatu barang sesuai dengan fungsinya. Hal ini sebabkan oleh karena berubahnya alasan kebutuhan membeli barang. Masyarakat tidak lagi membeli barang atas dasar kebutuhan terhadap fungsi barang yang dibeli, tetapi oleh alasan demi mengikuti kelaziman. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar