Kepada Akhir Lusono dan Sumono Sandy Asmoro
: Kutulis Kritikan ini Bukan untuk Bermusuhan
oleh Sugito HS
Pada beberapa bulan lampau, mungkin juga lebih dari setahun, saya sungguh lupa tanggal berikut bulan dan tahunnya. Tapi saya yakin peristiwa yang akan kuceritakan ini belum genap dua tahun berlalu. Saat itu sore hari. Saya sedang menghadiri satu acara di Bale Budaya Samirono. Di tengah mengikuti acara, ada seorang kenalan, saya juga lupa siapa namanya, memberikan satu bundel proposal. Ternyata isinya adalah proposal lomba membaca geguritan yang akan diadakan dua hari setelah saya menerima proposal tersebut. Lomba akan berlangsung di halaman Pura Pakualaman Yogyakarta. Saya juga sungguh tidak ingat lomba geguritan itu diadakan dalam rangka apa. Tapi saya ingat di dalam bundel proposal terdapat lampiran teks geguritan yang akan dilombabacakan. Saya lupa judul geguritannya. Tapi saya ingat, salah satu materi lomba tersebut adalah geguritan karya Saudara Akhir Lusono. Saya membaca teks geguritan hingga selesai. Lalu mengulangi lagi, sehingga saya yakin telah menemukan satu kata yang menggelisahkan perasaan sampai sekarang. Kata tersebut adalah KAWINISUDHA.
Saya mengulangi membaca geguritan tersebut sehingga yakin bahwa kata KAWINISUDHA ini adalah kata jadian yang berasal dari kata dasar WISUDHA (bahasa Jawa) yang artinya sama dengan kata “wisuda” di dalam bahasa Indonesia.
Hal yang menggelisahkan adalah bahwa kata KAWINISUDHA merupakan satu dari banyak kasus yang kudapatkan dari banyak tulisan teman-teman yang menekuni ilmu bahasa Jawa dan kerja kreatif sastra Jawa.
Mari kita urai. Kata dasar WISUDHA yang mendapat imbuhan awalan KA-, maka akan menjadi KAWISUDHA, artinya ‘diwisuda’ atau ‘dinobatkan’. Bentuk lain dari arti ‘dinobatkan’ menggunakan kata dasar WISUDHA adalah DIWISUDHA (diberi imbuhan DI-) dan WINISUDHA (diberi sisipan [seselan] –IN-). Nah. Oleh karena itu, maka saya mencurigai bahwa KAWINISUDHA yang terdapat di teks geguritan karya Saudara Akhir Lusono itu merupakan akibat dari usaha seleksi diksi yang tidak berangkat dari paramasastra (tatabahasa) Jawa.
Beberapa hari di dalam satu minggu ini, saya suntuk membaca guritan di dalam antologi LAYANG PANANTANG karya Saudara Sumono Sandy Asmoro. Di dalamnya saya menemukan lagi kata yang menggelisahkan perasaan. Kasusnya sedikit berbeda dengan yang telah teruraikan di atas. Kata tersebut adalah LENGGANA atau NGLENGGANA. Kata itu memang ada di dalam bausastra (kamus bahasa Jawa). Lalu apa masalahnya?
Masalahnya adalah bahwa di dalam kamus, kata NGLENGGANA artinya ‘tidak terima’ atau ‘tidak ikhlas’ atau ‘tidak rela’. Sedangkan di dalam beberapa judul guritan Saudara Sumono Sandy Asmoro, kata NGLENGGANA dijadikan pilihan sebagai pengganti kata LEGAWA yang artinya bertolakbelakang, yaitu ‘rela’ atau ‘ikhlas’. Saya mencurigai bahwa keberanian Saudara Sumono Sandy Asmoro mengartikan kata NGLENGGANA sama dengan arti kata LEGAWA adalah karena pengaruh bahasa lisan di masyarakat. Sampai kini memang masih banyak orang yang meskipun sudah belajar ilmu bahasa, tetap saja di keseharian tidak membenahi kesalahannya dalam menggunakan kata NGLENGGANA yang sudah terlalu lama disamaartikan dengan kata LEGAWA. Dan sebagian besar dari mereka adalah teman-temanku sendiri.
Jika kasus semacam ini terus terjadi, maka potensi kebingungan masyarakat atau pembelajar sastra Jawa di kemudian hari akan semakin menguat. Oleh sebab itu, maka penting bagi kita untuk lebih teliti dan meninjau ulang tata bahasa dalam karya tulis Jawa merujuk kepada bausastra dan paramasastra. Sebab, keduanya memang dihadirkan untuk tujuan itu. Tulisanku ini sekedar sapaan sambil mengingatkan bahwa di tangan para sastrawan dan pengaji bahasa, perkembangan bahasa dapat diarahkan menuju perkembangan yang tertata dan tidak membingungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar