Minggu, 03 April 2011

Orang Jawa itu Prasaja?

oleh Sugito HS

Empat tahun terakhir ini, setiap bulan September, saya diundang oleh panitia Makrab (Malam Keakraban), yang merupakan salah satu dari rangkaian acara dalam rangka penerimaan mahasiswa baru, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa (Hima) Pendidikan Bahasa Daerah (Jawa) Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kehadiran saya di acara tersebut sebagai juri lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa, semacam lomba Abang-None Jakarta; Cak-Ning Jawa Timur; Kangmas-Mbakyu Jawa Tengah, yang identik dengan munculnya berpasang-pasang pemuda-pemudi yang tentu saja tampan dan cantik dengan mengenakan busana tradisional, lalu oleh juri ditentukan sebagai pemenang karena ketepatannya menjawab bermacam pertanyaan, juga karena keterampilan yang dimiliki, serta banyak hal lain sebagai syarat menjadi ikon, dalam konteks ini tentu saja ikon mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa FBS UNY.
Acara ini, lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa, memang saya acungi jempol. Pasalnya sederhana saja. Pertama, para peserta yang dipercaya mewakili masing-masing kelompok untuk berkompetisi harus rela merias diri dan didandani layaknya pasangan pengantin adat Jawa.
Bagaimanapun, pengalaman mengenakan busana tradisional, yang sering dikeluhkan orang karena sangat ribet, itu adalah hal yang langka bagi generasi masa kini. Oleh karena telah memberikan pengalaman yang tidak mudah didapatkan di sembarang tempat, maka sudah selayaknya acara ini dihargai sebagai bagian dari proses pendidikan.
Kedua, sejauh ini, sepanjang empat kali saya menjadi juri lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa, terbukti acara tersebut sudah menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Sebagai tontonan, lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa sudah sangat menghibur ratusan mahasiswa baru yang menyaksikan. Mereka bisa tertawa karena melihat pasangan peserta yang kelihatan sangat tidak serasi. Bisa juga bersorak gempita merasa yakin pasangan wakil kelompoknya bakal menang karena kecakapannya menghadapi juri. Singkatnya, ada suasana regeng di acara itu.
Sebagai tuntunan, lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa banyak menawarkan nilai bagi peserta sendiri maupun penonton. Misalnya, peserta yang dituntut berkomunikasi verbal menggunakan bahasa Jawa tingkat tutur krama dengan juri. Penonton disuguhi media apresiasi visual berupa busana adat Jawa yang sarat nilai filosofi. Peserta juga dituntut menunjukkan kepiawaiannya dalam hal berolah seni tradisional Jawa, ekspresi estetik yang memuat moralitas (ambil contoh misalnya tembang macapat).
Meskipun begitu, bukan berarti saya tidak sedang akan menyampaikan kritikan. Sebab, tujuan saya menyusun tulisan ini memang untuk menyampaikan kritik. Tapi, sesungguhnya tidak khusus untuk acara lomba Dhimas-Dhiajeng Hima Jawa. Hanya saja, saya rasa pengalaman sebagai juri acara tersebut itulah yang menimbulkan ide untuk membahas fenomena memudarnya nilai prasaja (sederhana) di kehidupan masyarakat Jawa.
Dari pengalaman empat kali menjadi juri itu, saya selalu pulang membawa perasaan mangkel. Alasannya, setiap lomba itu digelar, nyaris seluruh peserta memilih (entah dipilihkan oleh panitia, atau kelompoknya, atau justru pilihan mereka sendiri) mengenakan baju (beskap ataupun surjan) yang berhiaskan manik-manik, berenda benang emas, dibubuhi bros mengkilat, dan aksesoris lain yang berkesan pamer dumeh sugih (mentang-mentang kaya). Kain jarik yang dipakai juga berlapis prada emas, meskipun sebenarnya cuma kain batik cap, bukan batik tulis. Wiron (lipatan kain) blangkon (ikat kepala) dibubuhi prada emas, pun masih ditambah bros logam berhias permata sebesar jempol kaki tepat di tengah atas dahi. Sandal slop-nya pun dihiasi sulaman benang emas. Saya melihatnya bukan Dhimas yang seharusnya mewakili sosok lelaki prasaja namun tetap gagah dan berwibawa, tapi justru seperti lelaki pesolek yang aleman (suka dipuji) dan sombong. Begitu juga yang menjadi Dhiajeng. Tidak ada pesan prasaja yang tersampaikan dari busananya. Sebab, semuanya serba gemerlap sehingga sumugih dan kinarya-karya (dibuat-buat atau dipaksakan sehingga begitu).
Kenapa saya emosi dengan hal ini? Jawabnya adalah karena para leluhur terlanjur menasehati saya bahwa wong Jawa iku kudu prasaja. Juga oleh karena para leluhur terlanjur bilang bahwa sikap sumugih itu tidak prasaja. Celakanya, selama ini saya terlanjur percaya nasehat mereka.
Apakah busana yang gemerlap itu tidak mencerminkan sikap prasaja? Jawabnya adalah terserah Anda. Tapi, saya terlanjur percaya pada piwulang para sepuh yang menegaskan bahwa lair iku utusaning batin (keadaan raga mencitrakan jiwa; busana mencitrakan tabiat).
Apakah dengan mengenakan pakaian yang gemerlap penuh hiasan itu berarti juga pasti berniat sombong memamerkan kekayaan? Tentu saja jawabnya adalah tidak. Tapi, bukankah berpakaian yang pantas sehingga memenuhi kaidah kesopanan itu tidak harus gemerlap? Bukankah pakaian yang bagus itu tidak harus berharga mahal karena banyaknya sulaman benang emas dan pernak-pernik logam yang kemilau? Terserah Anda untuk menjawabnya. Tidak harus memihak saya.
            Setiap menghadiri pesta pernikahan adat Jawa, saya selalu menggelisahkan niatan pengantin yang mengenakan busana serba gemerlap. Kalau pun toh mereka menjawab dengan kalimat, “Ini adalah doa. Pakaian yang kami kenakan ngembari ratu (menyamai raja), agar kami menjadi orang yang terhormat, mulia, dan sejahtera layaknya raja,” tapi pada kenyataannya seorang raja yang sesungguhnya pun (Paku Buwana, Hamengku Buwana, Mangkunegara, maupun Paku Alam) tidak pernah mengenakan busana seperti itu, sekalipun sinewaka, duduk di singgasana.
            Masih di sekitar upacara adat Jawa. Saya juga selalu menggelisahkan niatan para pranatacara (MC) yang berpakaian layaknya senapati (panglima) prajurit pada waktu kirab upacara grebeg Mulud keraton Yogyakarta atau juga layaknya patih keraton Mataram di panggung pertunjukan kethoprak.
Semoga saja referensi mereka bukan kostum yang dikenakan dhalang Parto di tayangan Opera Van Java. Semoga juga para pengantin yang mengenakan pakaian adat Jawa lebih mengutamakan filosofi kain jarik bermotif Sida Asih yang dikenakannya sebagai doa daripada gemerlapnya pakaian untuk ngembari ratu.
Sebagai penutup tulisan ini, saya menegaskan harapan semoga sikap prasaja tetap menjadi identitas orang Jawa, entah dalam wujud apapun.

Nandan, 08 Maret 2010
           
   

1 komentar:

arum mengatakan...

like this! memang tidak semua penduduk jawa mengenal betul filosofi dan simbolisme dari daerah/asal muasalnya,. artikel yg menarik.