Jumat, 01 Juli 2011

ESAI BAHASA

Fenomena Fungsi Bahasa Jawa Masa Kini:
dari Komunikasi ke Ornamen
Sugito HS

            Pernahkan Anda menghadiri acara resepsi pernikahan adat Jawa? Jika pernah, maka kemungkinan besar Anda paham dengan istilah pranatacara atau MC nganten atau dhalang nganten. Kesan apa yang Anda dapatkan dari seorang pranatacara (perwara acara Adat Jawa) berhubungan dengan aktivitasnya di dalam acara resepsi pernikahan? Saya berani memastikan, kesan yang paling Anda rasakan adalah peristiwa kegagalan komunikasi: Anda tidak mengerti arti sebagian besar kata yang diucapkannya. Atau mungkin Anda merasa telah terjadi peristiwa komunikasi yang tidak efektif pun tidak efisien. Tetapi pasti Anda juga mendapatkan kesan kekentalan rasa-nuansa Jawa akibat dari aktivitas seorang pranatacara di dalam upacara Adat tersebut.
          Hal yang sama juga pasti terjadi pada saat Anda menyaksikan pertunjukan wayang kulit, wayang wong, atau kethoprak. Anda mendapati kesulitan memahami dialog yang dilisankan oleh dhalang, paraga wayang wong, dan paraga kethoprak. Tetapi Anda dengan mudah dapat mendeteksi keberadaan rasa-nuansa Jawa di tempat pertunjukan seni tersebut.
          Apakah akibat pengalaman-pengalaman kegagalan komunikasi itu lalu Anda menyimpulkan bahwa bahasa Jawa sulit dipelajari? Silahkan saja berpendapat begitu. Tetapi bukankah Anda juga telah membuktikan kesuksesan komunikasi verbal bahasa Jawa di angkringan, di pasar tradisional, di beranda rumah tetangga, bahkan di kamar sendiri? Meskipun warna Jawa mungkin terasa kurang pekat menurut Anda.
          Bahasa Jawa sebagai bahasa lokal sesungguhnya tidak bernasib buruk seperti halnya bahasa lokal lain. Buktinya, bahasa Jawa masih menempati posisi lima-belas besar dalam hal jumlah pendukung (pengguna), di antara ribuan bahasa lokal sedunia. Eksistensi bahasa Jawa masih dalam wilayah aman karena besarnya jumlah pendukung yang aktif menggunakannya dalam keseharian yang tersebar, tidak hanya di pulau Jawa, di se-antero Nusantara hingga di Suriname. Tetapi kuantitas pendukung ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas komunikasi verbal, baik lisan ataupun tulis. Tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda Jawa. Kemrosotan kualitas komunikasi di kalangan tua pun tampak nyata. Apakah penyebabnya? Sudah tersedia cukup banyak jawaban yang semuanya benar. Anda benar jika menuduh kurikulum pendidikan sebagai penyebabnya. Anda juga benar jika menuduh para orang tua sebagai oknum sehingga generasi sekarang berjarak jauh dengan lokalitas, termasuk bahasa daerah (Jawa). Anda juga benar jika menimpakan tuduhan biang kepada semangat globalisasi yang bergaung tanpa henti di abad ini. Anda juga benar jika melimpahkan kesalahan terhadap generasi sekarang yang latah kekinian dan alergi tradisi. Sekali lagi, semua pilihan tadi benar, dapat dinalar dan dimaklumi keabsahannya. Tetapi saya tidak hendak memilih semua. Saya memiliki jawaban yang lebih menarik daripada isu-isu yang tersebut di atas.
          Gejala distorsi fungsi bahasa Jawa adalah jawaban atas masalah kegagalan komunikasi verbal yang terjadi di masyarakat Jawa sendiri. Persoalan dimulai dari pengaruh urbanisasi sehingga menetaskan kelompok-kelompok masyarakat urban yang hidup di dalam lingkungan multi-etnis, multi-tradisi, dan tentunya multi-bahasa. Sehingga demi mengatasi masalah komunikasi yang riskan tidak efektif maka mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi verbal dominan sehari-hari. Pada tahapan berikutnya, anak-anak yang terlahir di lingkungan kelompok masyarakat urban tidak mengenal bahasa lokal (Jawa) sebagai bahasa ibu, melainkan hanya mengenal bahasa Indonesia. Maka mereka tumbuh sebagai anak Jawa yang mengenal Jawa sebagai warisan berupa artefak; benda mati; kadaluarsa; tidak mempunyai nilai guna praktis; hanya sebagai karya seni.
          Perkembangan ilmu pengetahuan meningkatkan gengsi besar-besaran. Akibatnya, para anggota masyarakat urban yang sudah berjarak dengan lokalitas makin melebarkan jaraknya karena serba anti terhadap sesuatu yang bersifat lokal, termasuk bahasa lokal (Jawa). Namun, sebagai anggota etnis tertentu, mereka tetap merasa perlu mengukuhkan hubungan dengan sejarah leluhur agar identitas diri dalam perspektif kebudayaan tetap langgeng. Oleh karena itu, meski menetapkan gengsi tingkat tinggi dan serba anti terhadap nilai lokal, mereka bersedia melakukan aktivitas napak-tilas sejarah identitas pada moment-moment tertentu, salah-satunya adalah pada acara resepsi pernikahan. Bahasa Jawa yang dilisankan oleh MC, penyampai sambutan, hingga penyanyi, hanya berfungsi sebagai hiasan penegas identitas. Bukan sebagai alat komunikasi.
          Di ranah pendidikan hal ini juga terjadi. Lomba nembang (menyanyikan) Macapat (teks puisi tradisi Jawa) lebih populer dan terselenggara secara berkala dengan manajemen yang baik. Tapi lomba menulis puisi Jawa, yang sesungguhnya adalah kompetisi dalam menyampaikan message kebudayaan, dianggap tidak penting. Nyatalah bahwa pada masa kini bahasa Jawa lebih berfungsi sebagai bunyi indah (dalam perspektif seni) ketimbang sebagai bunyi berarti (dalam perspektif linguistik).
                                                                          Nandan, 14 Mei 2011 
                          

Tidak ada komentar: