Bahasa Jawa dan Politik Identitas
Sugito HS
….
liring pangolah basa
den-bisa bêbasan bêsus
busananing kasuselan
terjemahan:
artinya, dalam mengolah kata (berbicara)
musti seperti orang yang pintar berpakaian
(karena bahasa menjadi) busana moral
Tiga baris lirik tembang di atas dipetik dari kitab Sutaleka; pupuh Asmaradana; bait ke lima (5); tentang ajaran berbicara. Berdasarkan terjemahan bebas atas lirik tembang tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki hubungan dengan moral. Entah benar atau tidak, setidaknya hal ini berlaku bagi masyarakat Jawa. Artinya, gejala hubungan timbal-balik antara bahasa dan moral, dapat ditemukan dalam pergaulan sosial yang melibatkan orang-orang pengguna bahasa Jawa.
Nah, kemudian, sedekat apa hubungan antara keduanya (bahasa dan moral)? Anda tentu tidak boleh asal mendefinisikannya karena ada beberapa hal yang menyebabkan perkara ini menjadi rumit. Pertama, bahasa yang sedang dibahas kali ini adalah bahasa verbal; bahasa yang berbahan dasar bunyi, huruf, kata, dan kepastian arti. Sedangkan moral sebagai objek penilaian, tidak dapat dimutlakkan pemerian bahan dasarnya. Meskipun moral sebagai nilai memang dapat ditentukan aspek-aspeknya. Oleh karena itu pada permasalahan yang pertama sebenarnya sungguh sulit membenarkan adanya hubungan antara bahasa dengan moral. Kedua, moralitas sendiri sesungguhnya merupakan unsur dari bahasa verbal. Intonasi adalah ekspresi verbal yang dilatari oleh tindak moral. Tetapi, benarkah hubungan semacam ini yang dipahami oleh masyakarat pengguna bahasa Jawa mengenai bahasa dan moral? Baiklah, sekarang saya mencoba menguraikan perkara iki kepada Anda.
Jika Anda memerhatikan praktik komunikasi verbal lisan menggunakan bahasa Jawa, maka Anda pasti mendapati satu-dua peristiwa yang tiba-tiba lepas dari ranah linguistik. Sebagai contoh, ini adalah pengalamanku selama kurang-lebih dua (2 tahun), dari tahun 2004 hingga 2006, menjadi guru honorer di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta, untuk mata pelajaran Bahasa Jawa.
Pernah pada satu kesempatan seorang siswa menghampiri saya, lalu berkata, ”Pak. aku wis ngumpulke tugas, takselehke mejane Njenengan.” Saya lalu menjawab, ”Nggih. Matur nuwun. Sampun ngantos kesupen, minggu ngajeng ujian mid semester.” Siswa tersebut ganti menjawab, ”Nggih, Pak.” Dialog selesai. Belum sampai siswa tadi mohon diri untuk pergi, seorang guru senior di sekolahan tempatku mengajar datang sembari menegur. Beliau bilang begini,”Kowe kuwi ora duwe sopan. Karo gurune kok ora nganggo basa sing bener.”
Saya hanya diam setelah mendengar kalimat tegurannya kepada siswa tadi. Namun, kemudian saya gelisah. Saya bingung mengartikan kata ”sopan” yang dimaksudkan guru senior itu. Saya bingung mencari kesalahan bahasa dari kalimat yang sudah diucapkan muridku kepada saya. Silahkan Anda mencermati kalimat dialog singkat tadi. Saya yakin Anda pun tidak akan menemukan indikator kesalahan bahasa dari dua kalimat siswaku tersebut.
Maka pada waktu itu, setelah siswaku pergi dengan muka merah karena malu atau mungkin marah, saya buru-buru menanyakan hal kesalahan bahasa yang dimaksudkan oleh guru senior itu. Dan apa jawabnya? Beliau menjelaskan bahwa kesalahannya adalah karena siswa tadi tidak menggunakan kata-kata bahasa Jawa krama. Ternyata sederhana. Tapi apakah peristiwa peneguran tadi sederhana? Bagi saya, tidak!!
Saya melihat sendiri bagaimana siswaku mengucapkan kata-kata bahasa Jawa ngoko dengan intonasi yang cukup menandakan bahwa dia menghormati saya. Dia juga mengartikulasikan tiap huruf dari kata-kata dalam kalimat dialognya dengan fasih sesuai kaidah tata-bahasa Jawa. Dia juga mengontrol ekspresi muka, gerak tangan, badan, dan kakinya sehingga mendukung dan serasi dengan muatan kalimatnya. Sungguh pun begitu, ternyata dia masih dituduh telah berbicara dan bersikap tidak sopan. Mungkin Anda pernah mengalami peristiwa seperti yang menimpa siswaku. Pastilah Anda merasakan kecewa seketika itu juga, entah kepada siapa. Mungkin kepada orang yang lancang menuduh Anda tidak sopan. Mungkin juga kepada diri sendiri yang tidak mampu mengeja kata-kata bahasa Jawa krama. Mungkin juga kepada orangtua yang selama ini membiarkan Anda asyik lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa ngoko saja.
Silahkan bernostalgia dengan kenangan buruk itu. tapi jangan lupa bahwa kali ini kita harus mendapatkan kesimpulan atas tema yang sedang kita bahas.
Sudah sedikit terang. Bagi orang Jawa (mungkin sebagian, mungkin juga semua) ternyata bahasa berdiri sendiri di seberang moral. Perbendaharaan kosakata di dalam kamus bahasa Jawa seolah sudah dikategorikan berdasar baik dan buruknya bagi identitas seseorang. Bunyi-bunyi yang menjelma sebagai kosakata di dalam bahasa Jawa seperti tidak lahir dari kemapanan moralitas. Sehingga kamus bahasa Jawa seperti buku antologi puisi bersama yang tanpa kesatuan tema. Seolah lahir begitu saja dari banyak pribadi dan beragam perilaku di dalam wilayah komunal yang mengimani perbedaan status sosial hanya berdasar dari perbedaan profesi. Artinya, masyarakat Jawa, mungkin termasuk saya dan Anda, menjunjung tinggi teori kesetaraan antara profesi dengan kewajiban moral seseorang sebagai persembahan (pengakuan identitas) terhadap pribadi lain –termasuk di dalamnya adalah spesifikasi kewajiban penggunaan bahasa verbal (mengimani teori korelasi linier antara kecakapan berbahasa dengan stratifikasi moralitas pada pribadi). Tetapi, anehnya, tidak mengimani teori bahwa nilai moral adalah bahan dasar (aspek) pembentuk bahasa verbal. Sehingga yang kemudian dimaklumi oleh khalayak adalah pengertian bahwa bahasa adalah landasan nilai moral. Maka, kita tidak perlu berseru menolak apabila dituduh tidak bermoral hanya karena tidak cakap berbahasa. Juga jangan berseru mengingatkan jika ada penjahat dipuji oleh masyarakat sebagai pribadi bermoral baik hanya karena dia cakap berkata-kata menggunakan bahasa Jawa krama. Apakah Anda setuju?
Nandan, 13 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar