Sabtu, 06 Agustus 2011

ARTIKEL

Mendengar Bunyi, Menawar Arti
Sugito HS*

Jika Anda pernah mendapati pengalaman berada di tengah taman bunga, maka selayaknya kali ini Anda tidak akan susah menjawab pertanyaan “Hal apakah yang indah di taman bunga?”. Jika Anda pernah mendapati pengalaman berada di tepi sungai, maka Anda juga tidak akan susah menjawab pertanyaan, “Hal apakah yang membuat jenak di tepi sungai?”. Lain halnya dengan pertanyaan yang satu ini, ialah, “Apakah yang indah dari bunyi tetabuhan gamelan?” atau “Apakah yang membuat Anda tertarik bermain musik karawitan Jawa?”.

Benarlah jika Anda dapat menjelaskan bermacam keindahan yang dimiliki oleh taman bunga. Sebab, dapat dipastikan, Anda hanya akan bicara warna, bentuk, dan aroma. Anda menawar nilai dengan mata, lalu di sana, di taman bunga itu, ada banyak warna pun beragam bentuk yang “sedap” dipandang. Selanjutnya, Anda menawar nilai dengan hidung, dan di sana, di taman bunga itu, semerbak bermacam jenis aroma sudah tersedia dan “nikmat” dihirup.

Benar juga jika Anda akan dengan gampang menjelaskan keindahan lanskap tepian sungai. Mata Anda sudah sangat terlatih untuk menawar nilai visual dalam banyak hal.

Lalu apa masalahnya dengan nilai yang harus diberikan terhadap bunyi gamelan? Jangankan Anda, saya pun sama. Hal yang sedang akan ditawar nilainya adalah hal yang tidak dapat diindera dengan mata seperti halnya warna dan bentuk bunga. Hal yang sedang akan ditawar nilainya adalah juga hal yang tidak dapat dihirup aromanya seperti halnya bunga. Apalagi masih harus dihadapkan pada kenyataan bahwa gamelan memiliki nama belakang yang sulit untuk tidak dihiraukan. Ada gamelan Jawa, gamelan Sunda, gamelan Bali, gamelan Minang, dst. Nah. Benar kan? Mana mungkin Anda tidak “terganggu” dengan kata “Jawa”, “Sunda”, “Bali”, “Minang”, dan puluhan nama belakang gamelan yang lain itu? bagaimanapun, hingga kini, dalam konteks peradaban modern, identitas etnik adalah kebanggaan yang ditangguhkan. Maka sebagai anak peradaban modern, Anda pun menangguhkan rasa bangga sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Batak, atau orang dari etnis mana pun. Anda lebih nyaman disebut orang saja, tanpa dilekati identitas etnis.

Oleh karena itulah, kami sengaja menawarkan cara menawar nilai bunyi tetabuhan gamelan (sebagai seni musik etnik [Jawa]) sesuai dengan selera Anda: ialah selera masyarakat kertas –yang lancar berkomunikasi verbal; lancar fasih membaca dan mengartikan kata.

Anda tidak perlu buru-buru berlalu dari kerumunan orang yang sedang nabuh gamelan hanya karena alasan tidak paham konsep musikal Jawa. Anda tidak perlu menjaga jarak dengan gamelan (sebagai instrumen) sehingga untuk menyentuh saja bimbang karena merasa asing dengan tradisi Jawa.

Bukankah Anda berhak memetik mawar tanpa harus membawa tanahnya? Bukankah Anda berhak menanam tulip tanpa harus menjadi orang Belanda? Dan bukankah Anda berhak menghirup aroma kenanga tanpa harus membayangkan kuburan?

NGUNDHA LAYANGAN
          del, ndedel kae mumbul
          lah layangane mancawarna dhapukane
          del, ndedel kae muluk
          wah layangane warna-warna pulasane
          bat-tobat becike, lah aku gumun
          kaya kupu lan satelit
          sekuter, naga, lan kinjeng
          kae montore mabur jejer jaran sembrani
          aja nyangkut, bareng wae
          dimen awet, ora pedhot benange

Sepuluh baris deskripsi di atas adalah lirik dalam lagu Ngundha Layangan karya maestro karawitan yang populer sebagai dhalang pada tahun 70-an, ialah Ki Nartosabdo. Apa istimewanya lagu ini? Ah, Anda tidak perlu berpikir banyak. Dengarkan saja musiknya. Cobalah cermati alur melodinya. Mungkin di sana Anda menemukan arti. Nikmatilah luang waktu Anda seperti halnya judul lagu ini, Ngundha Layangan (bermain layang-layang).

Anda perlu jeda waktu untuk istirahat dari kepenatan aktivitas yang kompetitif. Rileks saja lah. Ada saatnya angan-angan (layangan) harus dibiarkan melayang (diundha), kadhang ditarik, kadhang diulur. Maka di sana Anda mungkin saja akhirnya memaklumi bahwa seje endhas, seje sing digagas (lain orang, lain yang dipikirkan) memang benar adanya. Hingga Anda sampai pada kesimpulan bahwa “persimpangan” adalah hal yang mutlak ada; perbedaan adalah hal yang benar; keberagaman adalah hal yang niscaya. Sehingga kita benar-benar merasa butuh kiblat untuk dapat bersama dalam perbedaan. Oleh karenanya Anda tentu maklum dengan lirik akhir lagu ini: /aja nyangkut, bareng wae/ dimen awet, ora pedhot benange/. Menang-kalah bukan perkara utama dalam kemanusiaan karena kita butuh bersama (bareng), menjaga silaturahim demi menjaga asa.

SLUKU-SLUKU BATHOK
sluku-sluku bathok  
          bathoke bathoke ela-elo
          si rama menyang kutha
          leh-olehe payung motha
          pak jenthit lo-lo lobak
          uwong mati ora obah
          yen obah medeni bocah
          yen urip goleka dhuwit

Mungkin dengan membaca lirik di atas Anda kemudian teringat akan masa kecil di kampung Jawa yang asri. Atau lebih spesifik lagi, Anda lalu mengenang lanskap malam terang bulan di halaman rumah yang luas, penuh anak-anak bermain dan bernyanyi. Silahkan saja. Tetapi yang lebih penting adalah adanya kalimat imperatif yang butuh ditawar lagi artinya. Ialah baris terakhir lagu ini: yen urip goleka dhuwit.

“Kalau (merasa) hidup, (maka) carilah uang!” Begitulah kira-kira terjemahan lirik tersebut. Tapi, bukankah Anda marah jika disebut kapitalis? Bukankan Anda tersinggung jika dituduh mata dhuwiten? Baiklah. Sebaiknya kata dhuwit dari lirik lagu ini kita padankan dengan kata ’harta’ saja. Sehingga dengan demikian isi perintahnya tidak melulu mencari uang, melainkan harta dalam pengertian yang luas. Jadi, selanjutnya mari bersama-sama kita merasa tersindir oleh lagu ini karena meski terbukti kita bernapas (masih hidup) namun sering tidak tampak berupaya –memperbanyak  teman, menambah ilmu, meningkatkan keterampilan– mencari harta.

ILIR-ILIR
          lir-ilir tandure wus sumilir
          tak ijo royo-royo
          taksengguh penganten anyar
          cah angon penekna blimbing kuwi
          lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira
          dodotira kumitir bedhah ing pinggir
          domana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
          mumpung padhang rembulane
          mumpung jembar kalangane
          dha suraka surak hayu

Tradisi ternyata populer. Begitulah kesimpulan yang didapat setelah melagukan lirik di atas. Bagaimana tidak? Lagu yang pasti dihapal oleh nyaris seluruh masyarakat Jawa ini tiba-tiba saja mampu memopulerkan grup musik Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib (pada awal tahun 2000-an?). Entah sejak kapan lagu ini mulai ada di khasanah sastra tutur masyarakat Jawa. Yang jelas, hingga kini orang-orang masih merasa memilikinya (rajin menyanyikan) meski tak begitu peduli untuk mengerti arti kata per katanya. Sungguh menarik jika Anda mencermati larik-lariknya. Hal sederhana menjadi bahasan yang mampu memanjakan angan kita meluaskan cakrawala. Masuh (mencuci) ternyata begitu penting untuk dijadwalkan. Kita butuh tertib berkala “mencuci” diri agar selalu eksis dengan bersih, bebas dari kotoran. Apakah Anda sudah tertib membiasakan dan menjadwalkan upacara Masuh (membersihkan) dodot (pakaian)? Sudahkan Anda peduli dengan “kebersihan” diri? Sudahkan Anda sangat peduli dengan kesucian jiwa?

Ada pertanyaan yang menggelitik hati kita. Dulu Anda dilahirkan telanjang tanpa sehelai benang bahkan sesobek kain sebagai pakaian, maka jika sekarang Anda mengenakan “pakaian”, apakah fungsinya? Apakah untuk menutupi kekotoran diri? Dan apakah pakaian yang Anda kenakan pernah terkotori? Lalu kapan Anda terakhir mencuci?

Mari bersama kita sejenak berkontemplasi….

Nandan, Juni 2011

* Sugito HS, Ketua Komunitas SLEnK, Pengajar Karawitan Sekolah Seni Jogja.

Tidak ada komentar: